Monday, April 22, 2019

MAKALAH PSIKOLOGI GENDER DAN SEKSUALITAS


 “KARIR DALAM RUMAH TANGGA (PRO)”


A.    Definisi Topik
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir batin  antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa laki-laki akan memiliki peran baru sebagai seorang suami, sementara wanita akan berperan sebagai seorang istri. Di sisi lain, laki-laki dan perempuan juga berperan sebagai ayah dan ibu ketika sudah memiliki anak.
Secara umum seorang suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kata “nafkah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini kami berasumsi, nafkah yang dimksudkan adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami untuk belanja hidup keluarganya.
Karir milik suami, yang dimaksud dengan suami berkarir adalah seorang suami yang memiliki pekerjaan/kesibukan di luar rumah untuk berkarya, berpenghasilan dengan bergabung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “karir” mengacu kepada dua pengertian; Pertama, karier berarti pengembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.
Urusan rumah tangga adalah milik istri artinya wanita lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan mempersembahkan waktunya tersebut untuk mengasuh dan mengurus anak-anaknya menurut pola yang diberikan masyarakat umum (Dwijayanti: 1999). Sementara ibu rumah tangga didefinisikan sebagai wanita yang meyoritas waktunya dipergunakan untuk mengajarkan dan memelihara anak-anaknya dengan pola asuh yang baik dan benar (Kartono: 1992).
B.     Pandangan Tim (Pro) – Alasan Mendasar Mengapa Tim Mendukung Topik
Kami dari Tim-pro setuju dengan mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara urusan rumah tangga adalah milik istri. Penelitian yang dilakukan oleh Herlian dan Daulay (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat budaya yang tetap memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah keluarga, sementara pengaturan keuangan keluarga dikendalikan oleh istri, hal ini dikarenakan oleh kesepakatan bersama, di sisi lain suami lebih mempercayai istri dalam hal pengelolaan anggaran rumahtangga.
Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi:
1.      Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2.      Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3.      Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Pernyataan dalam undang-undang tersebut dengan jelas memposisikan perempuan untuk lebih berperan pada sektor domestic karena, pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Namun, sayangnya tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan suami. Jadi menurut kami, jika memang suami mampu memberikan nafkah yang memadai bagi keluarga, maka istri sebaiknya menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.
C.    Ulasan Artikel, Berita, Hasil Penelitian yang Mendukung Opini Tim
Kami mendukung mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara urusan rumah tangga adalah milik istri, karena beberapa ulasan berikut:
Kami mengutip berita dari splinternews.com yang berjudul “Men Who Face This Ordeal Are More Likely To Divorce”. Menurut Alexandra Killewald, seorang educator, demographer, dan professor sosiologi di Havard University, budaya kita memang lambat bergerak menuju egalitarianisme, laki-laki masih diharapkan menjadi pencari nafkah atau paling tidak berkontribusi dalam mencari nafkah dengan cara tertentu  dan ketika mereka tidak melakukannya, pernikahan mereka menjadi menderita. Sementara istri kontemporer tidak perlu merangkul peran ibu rumah tangga tradisional untuk tetap menikah, namun suami kontemporer menghadapi risiko perceraian yang lebih tinggi ketika mereka tidak memenuhi stereotip peran pencari nafkah dengan dipekerjakan penuh waktu.
Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa sebuah studi 2011 dari Ohio State University menemukan bahwa laki-laki yang menganggur lebih cenderung bercerai daripada laki-laki yang bekerja, dengan laki-laki yang menganggu. Menurut Alexandra Killwald, para peneliti mencapai kesimpulan yang sama dengan pekerjaan perempuan telah meningkat dan diterima, tetapi pengangguran pria tidak dapat diterima oleh banyak orang, dan ada ambivalensi budaya dan kurangnya dukungan kelembagaan untuk pria yang mengambil peran 'feminin' seperti sebagai pekerjaan rumah tangga dan dukungan emosional.
Kami mengutip dari artikel “Why does unemployment lead to divorce? Male-breadwinner norms and divorce risk in 30 countries.” Diketahui bahwa pengangguran dan tekanan finansial menekan hubungan dan meningkatkan risiko perceraian atau perpisahan. Hal ini berlaku untuk pengangguran pria khususnya, dan penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa norma-norma gender tentang pekerjaan dalam pernikahan mungkin relevan untuk menjelaskan mengapa kehilangan pekerjaannya memicu lebih banyak konflik perkawinan. Menggunakan data panel rumah tangga yang harmonis untuk 30 negara untuk tahun 2004 hingga 2014 dan langkah-langkah tingkat negara untuk prevalensi norma pencari nafkah laki-laki, menunjukkan bahwa pengangguran suami meningkatkan risiko perceraian lebih banyak di negara-negara dengan prevalensi norma pencari nafkah laki-laki lebih besar dan dalam situasi di mana identitas laki-laki-pencari nafkah paling menonjol yaitu, di antara pasangan menikah yang memiliki anak-anak.
Dalam jurnal kesehatan masyarakat Amerika berjudul “Effects Of  Unemployment On Mental And Physical Health”, dijelaskan bahwa dari sebuah studi prospektif tentang dampak stres pada kesehatan pada 300 pria yang dinilai setiap enam bulan, pria yang menjadi pengangguran setelah memasuki studi dibandingkan dengan jumlah yang sama, sesuai dengan usia dan ras, yang terus bekerja. Data psikologis dan kesehatan setelah pengangguran dibandingkan antara kedua kelompok dengan analisis varian dan kovarian multivariat. Setelah menganggur, gejala somatisasi, depresi, dan kecemasan secara signifikan lebih besar pada penganggur daripada mereka yang dipekerjakan. Penyimpangan standar besar pada nilai harga diri pada kelompok penganggur menyarankan bahwa beberapa pria mengatasi lebih baik daripada yang lain karena stres kehilangan pekerjaan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki harga diri lebih tinggi memiliki lebih banyak dukungan dari keluarga dan teman daripada mereka yang memiliki harga diri yang rendah. Lebih lanjut, laki-laki yang menganggur secara signifikan melakukan lebih banyak kunjungan ke dokter mereka, minum lebih banyak obat, dan menghabiskan lebih banyak hari di tempat tidur rumah sakit daripada orang-orang yang dipekerjakan.
Penelitian tersebut didukung oleh pendapat Norman Lamb, seorang Menteri Perawatan dan Dukungan UK, dikutip dari berita menshealthforum.org.uk “Unemployment-bad-your-health”.  Norman Lamb menunjukkan bahwa laki-laki, terutama mereka yang sebelumnya memiliki pekerjaan tidak stabil, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan kesehatan yang buruk sebagai akibat dari pengangguran dibandingkan kelompok lain. Ini menjabarkan efek dari pengangguran pada pria, menyoroti bahwa, laporan pengangguran Laki-laki hampir dua kali lebih mungkin memiliki masalah kesehatan mental karena menganggur daripada perempuan; 800 kasus bunuh diri ekstra laki-laki dan 155 perempuan antara 2008-2010 dikaitkan dengan resesi di atas tren, yang telah menurun; Pria yang menganggur yang secara aktif mencari pekerjaan memiliki risiko kematian 20% lebih besar daripada pria yang bekerja. Tentunya hal ini cukup menjelaskan pandangan kami dari tim-pro, bahwa karir adalah milik suami.
Lalu bagaimana jika wanita tetap memaksakan untuk menjalankan peran ganda, sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sekaligus? Dalam artikel “Wanita Karier Lebih Cepat Stres daripada Sang Suami” dijelaskan bahwa tudi tersebut dilakukan oleh Shira Offer, peneliti dari Departement of Sociology and Anthropology di Bar-Ilan university, Israel, mengungkapkan bahwa seorang wanita yang menjalani kedua peran (wanita karier dan ibu rumah tangga)  memiliki tingkat stress yang lebih tinggi daripada pasangannya. Seorang wanita karier sekaligus menjadi seorang ibu akan memikirkan masalah keluarga dengan penuh khawatir, dan akhirnya menumbuhkan emosi negatif terhadap dirinya sendiri. Disisi lain enelitian itu melibatkan 402 ibu dan 291 ayah dari keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Peneliti mengukur tingkat emosi mereka dalam waktu bersamaan. Hasilnya, sang ibu lebih cepat stress memikirkan masalah keluarga dibanding sang ayah. Para peneliti juga menemukan bahwa sang ibu lebih terpengaruh secara negatif dengan masalah keluarga dibanding pasangannya.
Penelitian tersebut didukung oleh pandangan dari akar kesehatan sekaligus pengamat psikologi sosial dan budaya bernama Dr. Endang Mariani Rahayu, M.Si. Dalam artikel yang berjudul “Mana yang Lebih Mudah Terkena Stress, Ibu Rumah Tangga Atau Ibu yang Bekerja?” (doktersehat.com), beliau menjelaskan bahwa kini semakin banyak ibu yang bekerja karena ingin memenuhi tuntutan ekonomi atau memiliki keinginan untuk mengembangkan karirnya. Sayangnya karena harus menjalani dua peran sekaligus, yakni sebagai wanita karir sekaligus menjadi ibu rumah tangga, tuntutan pada wanita pun menjadi lebih besar dan hal ini akan membuat mereka lebih rentan terkena stress.
Memang, ibu rumah tangga juga bisa terkena stress mengingat cukup banyak hal yang harus diurus di rumah. Namun, menjadi Ibu yang bekerja berarti juga harus memikirkan lebih banyak hal, yakni tuntutan pekerjaan sekaligus memikirkan apa saja yang harus dilakukan di rumah. Menurutnya, wanita-wanita yang tinggal di kota besar cenderung mengalami peningkatan tingkat stress dengan signifikan. Dalam survei kesehatan terakhir, diketahui bahwa 49 persen atau hampir separuh wanita ternyata mengalami peningkatan stress dalam 5 tahun terakhir. Hal ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan 39 persen pria yang mengalami peningkatan stress.
Mengutip dari artikel Wolipop Detik.com, wanita yang bekerja dan mengurus kehidupan keluarga menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan keduanya. Bukan hanya menyeimbangkan, namun juga mengesampingkan kesehatan pribadinya. Penelitian terbaru yang dilakukan Australian National University mengungkapkan bahwa kesehatan wanita sering diabaikan ketika mereka bekerja penuh waktu. Hal ini dikarenakan para wanita masih harus mengurus suami, anak, dan keperluan rumah tangga lagi saat ia pulang kerumah. Seorang peneliti bernama Dr. Huong Dinh mengungkapkan bahwa “waktu kerja yang panjang menurunkan kesehatan mental dan fisik, karena itu wanita memiliki waktu yang lebih sedikit untuk merawat diri mereka sendiri dengan benar. Apalagi wanita punya tuntutan lebih banyak, tidak mungkin mereka bekerja tanpa mengkompromikan kesehatan.”
Berdasarkan tuntutan pekerjaan yang diterima wanita, memang wanita melakukan lebih banyak pekerjaan daripada pria. Peneliti Professor Lyndall Strazdins menungkapkan bahwa: “Pria punya keuntungan waktu di pasar kerja yang tidak wanita punya. Jika kita mendorong wanita untuk bekerja di waktu kerja (yang panjang) itu, kita sama saja menyuruh mereka menukar kesehatan dengan kesetaraan gender."
Selanjutnya, dari penelitian yang berjudul Work-Family Conflict Pada Wanita Bekerja: Studi Tentang Penyebab dan Dampak dan Strategi Coping, dijelaskan bahwa work-family conflict dapat terjadi pada pria maupun wanita, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas terjadinya work-family conflict pada wanita lebih besar dibandingkan pada pria (Apperson et al, 2002). Dijelaskan juga bahwa keterlibatan dan komitmen waktu perempuan pada keluarga yang didasari tanggung jawab mereka terhadap tugas rumah tangga, termasuk mengurus suami dan anak membuat para wanita bekerja lebih sering mengalami konflik (Simon, 1995 dalam Apperson et al, 2002).  Tingkat konflik tersebut lebih parah pada wanita yang bekerja secara formal karena mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan atau target penyelesaian pekerjaan. Studi Apperson et al (2002) menemukan bahwa karakteristik pekerjaan wanita yang sifatnya lebih formal dan manajerial seperti jam kerja yang relative panjang dan pekerjaan yang berlimpah cenderung memunculkan work-family conflict.
Menurut Greenhaus dan Batel (dalam Jansen dan Kant, 2006a) work-family conflict dapat muncul dalam tiga bentuk, yaitu:
1.      Konflik akibat tidak seimbangnya waktu yang dicurahkan pada pekerjaan dan keluarga (time-based conflict).
2.      Akibat tidak seimbangnya upaya dan perhatian yang harus dibagi antara pekerjaan dan keluarga (starined-based conflict).
3.      Ketidak cocokan perilaku yang harus dijalankan individu dalam lingkungan pekerjaan dan keluarga (behaviour-based strain).
Penelitian mengenai work-family conflict tersebut berkaitan dengan hasil penelitian di Majalengka Jawa Barat mengenai peningkatan kasus perceraian di tahun 2016 yang mencapai 4.535 perkara. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4.85 kasus. Kasus perceraian selalu disomasi oleh gugat cerai yang prsentasenya mencapai 65%, sisanya sebesar 35% talak. Panitera Muda Pengadilan Agama Kabupaten Majalengka, Kusman mengatakan bahwa tingginya angka cerai ditengarai terjadi setelah banyaknya industry berdiri di Kabupaten Majalengka sehingga menyebabkan banyak wanita menikah yang menjadi buruh pabrik.
Dari analisa kasus perceraian tersebut diketahui bahwa suami-suami mereka sebagian memilih untuk tidak bekerja (menganggur) setelah istri bekerja di pabrik atau para suami hanya menjadi pengantar jemput istri bekerja. Darisana para penggugat (istri-istri) mengungkapkan ke Pengadilan agama bahwa mereka merasa tidak dinafkai atau kurang dinafkai.
Dari hasil riset yang dimuat dalam Pew research Center yang berjudul The 7 Key Findings about stay-at-home Moms oleh D’vera Cohn And Andrea Caumont (8 April 2014) dijelaskan bahwa:
1.      Orang Amerika mengatakan orangtua di rumah adalah yang terbaik: Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar ibu di AS bekerja setidaknya paruh waktu, 60% orang Amerika mengatakan anak-anak lebih baik ketika orang tua tinggal di rumah untuk fokus pada keluarga, sementara 35% mengatakan mereka adalah orang tua, sama baiknya ketika kedua orang tua bekerja di luar rumah.
2.      Bagaimana ibu yang tinggal di rumah dan bekerja menghabiskan waktu mereka: Para ibu yang tidak bekerja menghabiskan lebih banyak waktu, rata-rata untuk penitipan anak dan pekerjaan rumah daripada ibu yang bekerja, tetapi mereka juga memiliki lebih banyak waktu untuk bersantai dan tidur.
Hal tersebut didukung dengan hasil riset yang dimuat dalam Pew research Center yang berjudul Bread Winner Moms oleh Wendy WangKim Parker And Paul Taylor (29 Mei 2013), sekitar setengah (51%) dari responden survei mengatakan bahwa anak-anak lebih baik jika seorang ibu di rumah dan tidak memiliki pekerjaan, sementara hanya 8% mengatakan hal yang sama tentang seorang ayah.
Dalam artikel Jane Waldfogel dari Columbia University Schools of Social Work menyoroti manfaat dari hubungan dekat orang tua-anak dengan menjelaskan bagaimana perawatan penuh kasih sayang dari orang tua sulit untuk ditiru oleh pengasuh lain karena biasanya orang tua yang merawat dan mencintai anak-anak mereka dengan tingkat terdalam dari kesetiaan. Ikatan ketat ini mendorong perkembangan yang sehat pada bayi dan anak-anak dengan memberi mereka kepercayaan diri dalam struktur sosial mereka.
Dalam artikel yang berjudul “Should Moms Stay at Home or Work” oleh  Ellen Hendriksen, PhD  (dimuat pada 12 Juni 2015) menjelaskan bahwa pada tahun 1998, pemerintah Norwegia memulai program yang layak  dan menggiurkan yang disebut "Cash for Care," yang memberi keluarga dengan anak-anak di bawah usia tiga pembayaran yang untuk memilih keluar dari tempat penitipan anak nasional. Tentu saja berarti bahwa seseorang harus tinggal di rumah bersama anak itu. Ini mungkin ibu, ayah, nenek, atau teman keluarga.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti tidak berfokus pada balita, tetapi pada kakak dan adik lelaki mereka yang berusia sekolah. Para peneliti menganalisis IPK kelas 10 dan menemukan bahwa anak-anak dalam keluarga yang memilih keluar dari tempat penitipan anak menjadi lebih baik di sekolah. Efeknya tidak besar, tetapi signifikan. Dan ketika para peneliti menggali apa yang menyebabkan kenaikan nilai, mereka menyimpulkan bahwa peningkatan akademik didorong oleh sekelompok keluarga dimana kebanyakan ibu meninggalkan tempat kerja untuk tinggal di rumah. 
Dalam artikel yang ditulis oleh Kalpana M, menjadi SAHM (Stay at Home Moms) sangat bermanfaat. Berikut manfaat yang dapat dirasakan ketika Istri (sebagai ibu rumah tangga tinggal dirumah):
1.      SAHM memiliki rutinitas. Berada di rumah membantu merencanakan dan mengatur kegiatan dan menyiapkan rutinitas harian untuk anak dan diri sendiri, sehingga dapat memberikan makanan kepada mereka tepat waktu, membuat mereka mempelajari pelajaran mereka, dan mengurus kebutuhan dasar lainnya.
2.      SAHM dapat fokus pada anak-anak. Prioritas istri adalah kesejahteraan anak-anak. Mampu melacak dengan dekat tonggak sejarah anak-anak, merawat mereka ketika mereka tidak sehat, dan memastikan keselamatan anak-anak di rumah dan di luar. Anak-anak juga memiliki kepastian bahwa ibu selalu ada untuk mereka.
3.      SAHM dapat berinteraksi dengan SAHM lain. Seorang ibu dapat memperluas lingkaran sosialnya, dan membangun jaringan SAHM. Ini akan membantu berbagi pengalaman satu sama lain dan memberikan solusi untuk masalah masing-masing.
4.      Seorang SAHM akan bebas dari stres terkait pekerjaanm, karena tidak memiliki target untuk dipenuhi dan tidak perlu khawatir meninggalkan anak bersama orang lain.
5.      Seorang SAHM dapat menghargai saat-saat berharga bersama anak-anaknya. Artinya, dapat mendapatkan kesempatan untuk memiliki pengalaman yang tak ternilai dengan anak-anaknya. Dapat menikmati pemandangan wajah polos mereka saat mereka tertidur, dan kehangatan pelukan dan ciuman mereka.
6.      Menjadi SAHM mendapat kepuasan tersendiri dalam membesarkan anak secara pribadi.
Dalam artikel lain, Doreen Goodman seorang guru dan psikoterapist terkemuka menyebutkan bahwa anak-anak harus dirawat terutama oleh figur ibu yang konsisten selama tiga tahun pertama. Pandangan tersebut didukung oleh psikolog dan psikiater hebat John Bowlby.  Pengalamannya yang luas dan kerja lapangan membuatnya mengembangkan teori kelekatan: gagasan bahwa bayi perlu mengalami hubungan yang hangat dan berkelanjutan dengan ibu mereka (atau pengganti ibu permanen) untuk berkembang. Dengan kata lain, pembentukan hubungan yang berkelanjutan dengan seorang anak adalah bagian penting dari mengasuh anak.
Konsultan psikoterapis anak Robin Balbernie dan profesor pekerjaan sosial dan psikologi David Howe berbicara tentang bagaimana masalah yang berkembang di masyarakat, seperti depresi, bisa disebabkan oleh hubungan anak / pengasuh yang buruk dan stres dalam tiga tahun pertama. John Carnochan, seorang polisi senior Skotlandia dan pakar kekerasan terkenal di dunia, mengaitkan hal-hal buruk yang ia tangani dengan semua kehidupan profesionalnya dengan perawatan bayi yang tidak memadai. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa anak-anak yang dirawat oleh ibu mereka secara signifikan lebih baik dalam tes perkembangan daripada mereka yang berada dalam jenis perawatan lainnya.
D.    Kajian Teori yang Mendukung Opini
Kami dari tim-pro mendukung mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara urusan rumah tangga adalah milik istri. Penelitian yang dilakukan oleh Herlian dan Daulay (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat budaya yang tetap memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah keluarga. Hal tersebut memang tidak dapat terlepas dari Istilah jender menggambarkan pada konsepsi-konsepsi mengenai peran jenis kelamin yang di tentukan secara sosial (Steinberg, 1993:2). Menurut Menteri UPW, gender adalah perbedaan-perbedaan sifat wanita dan pria yang tidak mengacu pada perbedaan biologis, tetapi mencangkup nilai-nilai sosial budaya. Sehingga menimbulkan nilai-nilai lain yang berlanjut menjadi nilai umum terhadap sekelompok jenis tertentu (dalam Parwati, 2000:4). Pengertian jender menurut Santrock (1977:264), adalah: Gender refers to the social dimension of being male or female. Two aspects of gender bear special mention-gender identity and genderrole. Gender identity is the sense of being male or female, which most children acquire by the time they are 3 years old. A gender role is a aet of expectations that prescribe how females and males should think, act, and feel. Pada dasarnya sifat maskulin dan feminin ada pada setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Sisi maskulin atau feminine yang akan dikembangkannya tergantung pada perubahan budaya. Pendapat ini dikuatkan oleh Margaret Mead yang mengatakan bahwa sifat maskulin dan feminin yang menonjol dimiliki seseorang adalah sebagai produk budaya. Menurut Simone de, seseorang tidak lahir sebagai laki-laki atau perempuan, tetapi dibuat oleh budaya menjadi laki-laki atau perempuan (dalam Mitchell J, 1974).
John Locke (1690) mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan suatu keadaan dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat lahir. Locke menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup adalah hasil dari hal-hal yang kita amati dengan menggunakan indera kita. Dia menyimpulkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan karakter mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan perkembangan ini dari identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia. Jika dikaitkan dengan teori yang kita kenal dengan tabula rasa tersebut kita dapat memahami bahwa sejak kita lahir budaya kita memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah keluarga dan istri (ibu) sebagai pengurus rumah tangga.
Kami setuju dengan pandangan Doreen Goodman dan John Bowlby mengenai pentingnya peran ibu dalam pengasuhan anak dan kemudian mengkaitkan pandangan tersebut dengan teori tabula rasa yang kami jelaskan di atas, dimana perkembangan manusia dibentuk oleh lingkungan (nurture) misalnya, pola asuh, pendidikan, pergaulan, keluarga, dan sebagainya.  Dari pandangan tersebut, tentunya kita menyadari bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak akan lebih optimal jika ibu menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Dalam teori motivasi manusia Maslow menyusun 5 kebutuhan dasar manusia: Kebutuhan Fisiologis, keamanan, dicintai dan mencintai, self-esteem, dan aktualisasi diri, Kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan fisiologis bersifat neostatik (usaha menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik) seperti makan, minum, gula, garam, protein, serta kebutuhan istirahat dan seks. Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan absolut (kelaparan dan kehausan) semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan semua kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini. Jika dikaitkan dengan dengan kebutuhan fisiologis ini, tentunya Ibu rumah tangga yang tidak memiliki peran ganda (bekerja dan mengurus rumah) akan lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Demikian halnya dengan suami yang bekerja, kebutuhan fisiologis mereka akan lebih mudah untuk terpenuhi karena istri yang tidak bekerja akan memiliki focus lebih maksimal dalam pengelolaan kebutuhan fisiologis keluarga seperti menyediakan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan lain-lain. Tentunya jika wanita (istri) focus menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dan suami dapat focus dalam menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga, keduanya akan lebih memiliki waktu untuk beristirahat sehingga kebutuhan biologis seperti seks juga lebih mudah untuk terpenuhi karena ketersediaan waktu bagi kedua pihak lebih memadai.





















DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Rahmi. 2017. Ini yang Dikorbankan Wanita Bekerja Sambil Mengurus Rumah. https://wolipop.detik.com/work-and-money/d-3415393/ini-yang-dikorbankan-wanita-bekerja-sambil-mengurus-rumah-tangga (diakses tanggal 05Februari 2019)
Anonymous. Nd. “Mana yang Lebih Mudah Terkena Stress, Ibu Rumah Tangga Atau Ibu yang Bekerja?”. https://doktersehat.com/mana-yang-lebih-mudah-terkena-stress-ibu-rumah-tangga-atau-ibu-yang-bekerja/ (diakses pada 6 Februari 2019)
Anonymous. 2015. “Pengangguran Tingkatkan Depresi Tiga Kali Lipat”. https://lifestyle.sindonews.com/read/983776/152/pengangguran-tingkatkan-depresi-tiga-kali-lipat-1427851505 (diakses pada 6 Februari 2019)
Alteza, M, & Lina Nur Hidayati, L. N. (2009). “Work family conflict pada wanita bekerja: Studi tentang penyebab, dampak, dan strategi coping. Universitas negeri Yogyakarta.
Apperson et al. (2000). “Woman Managers and the Experience of Work-Family Confict”. American Journal of Undergraduate Research. Vol. 1. No 3
Bettinger, E., Hægeland, T. & Rege, M. (2013). Home with Mom: The effects of stay-at-home parents on children's long-run educational outcomes. Discussion Papers No. 739, Statistics Norway, Research Department
Booth, A. (1979). Does Wives' Employment Cause Stress for Husbands? The Family Coordinator, 28(4), 445-449. doi:10.2307/583503
Cohn, DV, Caumont A. 7 key findings about stay-at-home moms, Pew Research Center. Available at: http://www.pewresearch.org/fact-tank/2014/04/08/7-key-findings-about-stay-at-home-moms (diakses pada tanggal 4 Februari 2019)
Conochie, Alan. 2006. “Other Lives Dooren Goodman”. Theguadian. https://www.theguardian.com/news/2006/mar/07/orbituaries.mainsection
Eliason, M., & Storrie, D. (2009). Job loss is bad for your health–Swedish evidence on cause-specific hospitalization following involuntary job loss. Social science & medicine68(8), 1396-1406.
GOÑALONS-PONS, P. I. L. A. R., & GANGL, M. (2018). Why does unemployment lead to divorce? Male-breadwinner norms and divorce risk in 30 countries.
Hillin, Taryn.2016. Men who Face This Ordeal are More Likely to Divorce. Sex and Life article. (diakses pada 6 Februari 2019)https://splinternews.com/men-who-face-this-ordeal-are-more-likely-to-divorce-1793860732
Linn, M. W., Sandifer, R., & Stein, S. (1985). Effects of unemployment on mental and physical health. American journal of public health75(5), 502-6.

M, Kalpana. 2018. “Stay-At-Home Mom: What Are Its Benefits And How To Afford To Be One?”.https://www.momjunction.com/articles/pros-and-cons-of-being-a-stay-at-home-mother_00342701/#gref (diakses pada 4 Januari 2019)

Maslow, A. H., & Iman,N. (1993). Motivasi dan kepribadian: teori motivasi dengan pendekatan hirarki kebutuhan manusia. Pustaka Binaman Pressindo
Mooney, Bell. 2013.”The Scientific Proof That Sending Mothers Out To Work Harms Children - So why is the Budget penalising those who stay at home?”. https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2296567/Scientific-proof-stay-home-mothers-benefit-children-So-coalition-Budget-tax-break-working-mothers.html  (Diakses pada tanggal 4 Februari 2019)
Purnawati, Tati. 2017. “Banyak Perempuan Bekerja Pengaruhi Tingginya Angka Perceraian?”.   http://www.pikiran-rakyat.com/jaw-barat/2017/01/22/banyak-perempuan-bekerja-pengaruhi-tingginya-angka-perceraian-391340 (diakses pada 4 Januari 2019)
Umbara, C. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Wang, W, Parker K, Taylor P. Breadwinner Moms, Pew Research Center. Available at: http://www.pewsocialtrends.org/2013/05/29/breadwinner-moms/ (Diakses pada tanggal 4 Februari 2019)

No comments:

Post a Comment

Luangkanlah waktu untuk berkomentar di blog ini. Berkomentarlah secara bijak( jangan SPAM). Komentar anda adalah suatu kebanggaan buat saya.

PERSIAPAN SEBELUM MENGAJAR | CINTAILAH PROFESI ANDA

  Bila seseorang sedang jatuh cinta, apa pun akan dilakukan untuk   mendapatkan cintanya. Tidak cukup waktu, energi, harta,   benda, bahkan ...