A.
Definisi
Topik
Menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut
dapat dilihat bahwa laki-laki akan memiliki peran baru sebagai seorang suami,
sementara wanita akan berperan sebagai seorang istri. Di sisi lain, laki-laki
dan perempuan juga berperan sebagai ayah dan ibu ketika sudah memiliki anak.
Secara
umum seorang suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kata “nafkah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup
sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini kami berasumsi, nafkah yang dimksudkan
adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami
untuk belanja hidup keluarganya.
Karir
milik suami, yang dimaksud dengan suami berkarir adalah seorang suami yang
memiliki pekerjaan/kesibukan di luar rumah untuk berkarya, berpenghasilan
dengan bergabung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya). Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “karir” mengacu kepada dua pengertian;
Pertama, karier berarti pengembangan dan kemajuan dalam kehidupan,
pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Kedua, karier berarti juga pekerjaan
yang memberikan harapan untuk maju.
Urusan
rumah tangga adalah milik istri artinya wanita lebih banyak menghabiskan
waktunya di rumah dan mempersembahkan waktunya tersebut untuk mengasuh dan
mengurus anak-anaknya menurut pola yang diberikan masyarakat umum (Dwijayanti:
1999). Sementara ibu rumah tangga didefinisikan sebagai wanita yang meyoritas
waktunya dipergunakan untuk mengajarkan dan memelihara anak-anaknya dengan pola
asuh yang baik dan benar (Kartono: 1992).
B.
Pandangan
Tim (Pro) – Alasan Mendasar Mengapa Tim Mendukung Topik
Kami
dari Tim-pro setuju dengan mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara
urusan rumah tangga adalah milik istri. Penelitian
yang dilakukan oleh Herlian dan Daulay (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat
budaya yang tetap memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah
keluarga, sementara pengaturan keuangan keluarga dikendalikan oleh istri, hal
ini dikarenakan oleh kesepakatan bersama, di sisi lain suami lebih mempercayai
istri dalam hal pengelolaan anggaran rumahtangga.
Sedangkan
pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan yang
berbunyi:
1.
Suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
2. Isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3.
Jika suami atau isteri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Pernyataan
dalam undang-undang tersebut dengan jelas memposisikan perempuan untuk lebih
berperan pada sektor domestic karena,
pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Namun, sayangnya tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya
dikatakan sesuai dengan kemampuan suami. Jadi menurut kami, jika memang suami
mampu memberikan nafkah yang memadai bagi keluarga, maka istri sebaiknya
menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.
C.
Ulasan
Artikel, Berita, Hasil Penelitian yang Mendukung Opini Tim
Kami
mendukung mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara urusan rumah
tangga adalah milik istri, karena beberapa ulasan berikut:
Kami
mengutip berita dari splinternews.com yang berjudul “Men Who Face This Ordeal
Are More Likely To Divorce”. Menurut Alexandra Killewald, seorang educator,
demographer, dan professor sosiologi di Havard University, budaya kita memang
lambat bergerak menuju egalitarianisme, laki-laki masih diharapkan menjadi
pencari nafkah atau paling tidak berkontribusi dalam mencari nafkah dengan cara
tertentu dan ketika mereka tidak
melakukannya, pernikahan mereka menjadi menderita. Sementara istri kontemporer
tidak perlu merangkul peran ibu rumah tangga tradisional untuk tetap menikah, namun
suami kontemporer menghadapi risiko perceraian yang lebih tinggi ketika mereka
tidak memenuhi stereotip peran pencari nafkah dengan dipekerjakan penuh waktu.
Dalam
artikel tersebut juga dijelaskan bahwa sebuah studi 2011 dari Ohio State
University menemukan bahwa laki-laki yang menganggur lebih cenderung bercerai
daripada laki-laki yang bekerja, dengan laki-laki yang menganggu. Menurut
Alexandra Killwald, para peneliti mencapai kesimpulan yang sama dengan
pekerjaan perempuan telah meningkat dan diterima, tetapi pengangguran pria
tidak dapat diterima oleh banyak orang, dan ada ambivalensi budaya dan
kurangnya dukungan kelembagaan untuk pria yang mengambil peran 'feminin' seperti sebagai pekerjaan
rumah tangga dan dukungan emosional.
Kami
mengutip dari artikel “Why does
unemployment lead to divorce? Male-breadwinner norms and divorce risk in 30
countries.” Diketahui bahwa pengangguran dan tekanan finansial menekan hubungan
dan meningkatkan risiko perceraian atau perpisahan. Hal ini berlaku untuk
pengangguran pria khususnya, dan penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa
norma-norma gender tentang pekerjaan dalam pernikahan mungkin relevan untuk
menjelaskan mengapa kehilangan pekerjaannya memicu lebih banyak konflik
perkawinan. Menggunakan data panel rumah tangga yang harmonis untuk 30 negara
untuk tahun 2004 hingga 2014 dan langkah-langkah tingkat negara untuk
prevalensi norma pencari nafkah laki-laki, menunjukkan bahwa pengangguran suami
meningkatkan risiko perceraian lebih banyak di negara-negara dengan prevalensi
norma pencari nafkah laki-laki lebih besar dan dalam situasi di mana identitas
laki-laki-pencari nafkah paling menonjol yaitu, di antara pasangan menikah yang
memiliki anak-anak.
Dalam jurnal kesehatan masyarakat Amerika
berjudul “Effects
Of Unemployment On Mental And Physical
Health”, dijelaskan bahwa dari sebuah studi prospektif tentang dampak stres pada
kesehatan pada 300 pria yang dinilai setiap enam bulan, pria yang menjadi
pengangguran setelah memasuki studi dibandingkan dengan jumlah yang sama,
sesuai dengan usia dan ras, yang terus bekerja. Data psikologis dan kesehatan
setelah pengangguran dibandingkan antara kedua kelompok dengan analisis varian
dan kovarian multivariat. Setelah menganggur, gejala somatisasi, depresi, dan
kecemasan secara signifikan lebih besar pada penganggur daripada mereka yang dipekerjakan.
Penyimpangan standar besar pada nilai harga diri pada kelompok penganggur
menyarankan bahwa beberapa pria mengatasi lebih baik daripada yang lain karena
stres kehilangan pekerjaan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa mereka yang
memiliki harga diri lebih tinggi memiliki lebih banyak dukungan dari keluarga
dan teman daripada mereka yang memiliki harga diri yang rendah. Lebih lanjut,
laki-laki yang menganggur secara signifikan melakukan lebih banyak kunjungan ke
dokter mereka, minum lebih banyak obat, dan menghabiskan lebih banyak hari di
tempat tidur rumah sakit daripada orang-orang yang dipekerjakan.
Penelitian tersebut didukung oleh pendapat Norman
Lamb, seorang Menteri Perawatan dan Dukungan UK, dikutip dari berita
menshealthforum.org.uk “Unemployment-bad-your-health”. Norman Lamb menunjukkan bahwa laki-laki, terutama
mereka yang sebelumnya memiliki pekerjaan tidak stabil, memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengembangkan kesehatan yang buruk sebagai akibat dari
pengangguran dibandingkan kelompok lain. Ini menjabarkan efek dari pengangguran
pada pria, menyoroti bahwa, laporan pengangguran Laki-laki hampir dua kali
lebih mungkin memiliki masalah kesehatan mental karena menganggur daripada
perempuan; 800 kasus bunuh diri ekstra laki-laki dan 155 perempuan antara
2008-2010 dikaitkan dengan resesi di atas tren, yang telah menurun; Pria yang
menganggur yang secara aktif mencari pekerjaan memiliki risiko kematian 20%
lebih besar daripada pria yang bekerja. Tentunya hal ini cukup menjelaskan
pandangan kami dari tim-pro, bahwa karir adalah milik suami.
Lalu bagaimana jika
wanita tetap memaksakan untuk menjalankan peran ganda, sebagai wanita karir dan
ibu rumah tangga sekaligus? Dalam artikel “Wanita Karier Lebih Cepat Stres
daripada Sang Suami” dijelaskan bahwa tudi tersebut dilakukan oleh Shira Offer,
peneliti dari Departement of Sociology and Anthropology di Bar-Ilan university,
Israel, mengungkapkan bahwa seorang wanita yang menjalani kedua peran (wanita
karier dan ibu rumah tangga) memiliki
tingkat stress yang lebih tinggi daripada pasangannya. Seorang wanita karier
sekaligus menjadi seorang ibu akan memikirkan masalah keluarga dengan penuh
khawatir, dan akhirnya menumbuhkan emosi negatif terhadap dirinya
sendiri. Disisi lain enelitian itu melibatkan 402 ibu dan 291 ayah dari
keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Peneliti mengukur tingkat emosi
mereka dalam waktu bersamaan. Hasilnya, sang ibu lebih cepat stress memikirkan
masalah keluarga dibanding sang ayah. Para peneliti juga menemukan bahwa sang
ibu lebih terpengaruh secara negatif dengan masalah keluarga dibanding
pasangannya.
Penelitian tersebut
didukung oleh pandangan dari akar kesehatan sekaligus pengamat psikologi sosial dan budaya
bernama Dr. Endang Mariani Rahayu, M.Si. Dalam artikel yang berjudul “Mana yang
Lebih Mudah Terkena Stress, Ibu Rumah Tangga Atau Ibu yang Bekerja?”
(doktersehat.com), beliau menjelaskan bahwa kini semakin banyak ibu yang
bekerja karena ingin memenuhi tuntutan ekonomi atau memiliki keinginan untuk
mengembangkan karirnya. Sayangnya karena harus menjalani dua peran sekaligus,
yakni sebagai wanita karir sekaligus menjadi ibu rumah tangga, tuntutan pada
wanita pun menjadi lebih besar dan hal ini akan membuat mereka lebih rentan
terkena stress.
Memang, ibu rumah tangga juga bisa terkena
stress mengingat cukup banyak hal yang harus diurus di rumah. Namun, menjadi
Ibu yang bekerja berarti juga harus memikirkan lebih banyak hal, yakni tuntutan
pekerjaan sekaligus memikirkan apa saja yang harus dilakukan di rumah. Menurutnya,
wanita-wanita yang tinggal di kota besar cenderung mengalami peningkatan
tingkat stress dengan signifikan. Dalam survei kesehatan terakhir, diketahui
bahwa 49 persen atau hampir separuh wanita ternyata mengalami peningkatan
stress dalam 5 tahun terakhir. Hal ini jauh lebih banyak jika dibandingkan
dengan 39 persen pria yang mengalami peningkatan stress.
Mengutip dari artikel Wolipop Detik.com, wanita
yang bekerja dan mengurus kehidupan keluarga menghadapi tantangan dalam
menyeimbangkan keduanya. Bukan hanya menyeimbangkan, namun juga mengesampingkan
kesehatan pribadinya. Penelitian terbaru yang dilakukan Australian National
University mengungkapkan bahwa kesehatan wanita sering diabaikan ketika mereka
bekerja penuh waktu. Hal ini dikarenakan para wanita masih harus mengurus
suami, anak, dan keperluan rumah tangga lagi saat ia pulang kerumah. Seorang
peneliti bernama Dr. Huong Dinh mengungkapkan bahwa “waktu kerja yang panjang
menurunkan kesehatan mental dan fisik, karena itu wanita memiliki waktu yang
lebih sedikit untuk merawat diri mereka sendiri dengan benar. Apalagi wanita
punya tuntutan lebih banyak, tidak mungkin mereka bekerja tanpa mengkompromikan
kesehatan.”
Berdasarkan tuntutan pekerjaan yang diterima
wanita, memang wanita melakukan lebih banyak pekerjaan daripada pria. Peneliti
Professor Lyndall Strazdins menungkapkan bahwa: “Pria punya keuntungan waktu di
pasar kerja yang tidak wanita punya. Jika kita mendorong wanita untuk bekerja
di waktu kerja (yang panjang) itu, kita sama saja menyuruh mereka menukar
kesehatan dengan kesetaraan gender."
Selanjutnya,
dari penelitian yang berjudul Work-Family Conflict Pada Wanita Bekerja: Studi
Tentang Penyebab dan Dampak dan Strategi Coping, dijelaskan bahwa work-family conflict dapat terjadi pada
pria maupun wanita, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas
terjadinya work-family conflict pada
wanita lebih besar dibandingkan pada pria (Apperson et al, 2002). Dijelaskan
juga bahwa keterlibatan dan komitmen waktu perempuan pada keluarga yang didasari
tanggung jawab mereka terhadap tugas rumah tangga, termasuk mengurus suami dan
anak membuat para wanita bekerja lebih sering mengalami konflik (Simon, 1995
dalam Apperson et al, 2002). Tingkat
konflik tersebut lebih parah pada wanita yang bekerja secara formal karena
mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan
atau target penyelesaian pekerjaan. Studi Apperson et al (2002) menemukan bahwa
karakteristik pekerjaan wanita yang sifatnya lebih formal dan manajerial seperti
jam kerja yang relative panjang dan pekerjaan yang berlimpah cenderung
memunculkan work-family conflict.
Menurut
Greenhaus dan Batel (dalam Jansen dan Kant, 2006a) work-family conflict dapat muncul dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Konflik
akibat tidak seimbangnya waktu yang dicurahkan pada pekerjaan dan keluarga (time-based conflict).
2. Akibat
tidak seimbangnya upaya dan perhatian yang harus dibagi antara pekerjaan dan
keluarga (starined-based conflict).
3. Ketidak
cocokan perilaku yang harus dijalankan individu dalam lingkungan pekerjaan dan
keluarga (behaviour-based strain).
Penelitian
mengenai work-family conflict
tersebut berkaitan dengan hasil penelitian di Majalengka Jawa Barat mengenai
peningkatan kasus perceraian di tahun 2016 yang mencapai 4.535 perkara. Angka
tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4.85 kasus. Kasus
perceraian selalu disomasi oleh gugat cerai yang prsentasenya mencapai 65%,
sisanya sebesar 35% talak. Panitera Muda Pengadilan Agama Kabupaten Majalengka,
Kusman mengatakan bahwa tingginya angka cerai ditengarai terjadi setelah
banyaknya industry berdiri di Kabupaten Majalengka sehingga menyebabkan banyak
wanita menikah yang menjadi buruh pabrik.
Dari
analisa kasus perceraian tersebut diketahui bahwa suami-suami mereka sebagian
memilih untuk tidak bekerja (menganggur) setelah istri bekerja di pabrik atau
para suami hanya menjadi pengantar jemput istri bekerja. Darisana para
penggugat (istri-istri) mengungkapkan ke Pengadilan agama bahwa mereka merasa
tidak dinafkai atau kurang dinafkai.
Dari
hasil riset yang dimuat dalam Pew research Center yang berjudul The 7 Key
Findings about stay-at-home Moms oleh D’vera Cohn And Andrea Caumont (8 April
2014) dijelaskan bahwa:
1. Orang
Amerika mengatakan orangtua di rumah adalah yang terbaik: Terlepas dari
kenyataan bahwa sebagian besar ibu di AS bekerja setidaknya paruh waktu, 60%
orang Amerika mengatakan anak-anak lebih baik ketika orang tua tinggal di rumah
untuk fokus pada keluarga, sementara 35% mengatakan mereka adalah orang tua,
sama baiknya ketika kedua orang tua bekerja di luar rumah.
2. Bagaimana
ibu yang tinggal di rumah dan bekerja menghabiskan waktu mereka: Para ibu yang
tidak bekerja menghabiskan lebih banyak waktu, rata-rata untuk penitipan anak
dan pekerjaan rumah daripada ibu yang bekerja, tetapi mereka juga memiliki
lebih banyak waktu untuk bersantai dan tidur.
Hal tersebut didukung dengan hasil
riset yang dimuat dalam Pew research Center yang berjudul Bread Winner Moms
oleh , And
(29 Mei 2013), sekitar setengah (51%) dari responden survei mengatakan bahwa
anak-anak lebih baik jika seorang ibu di rumah dan tidak memiliki pekerjaan,
sementara hanya 8% mengatakan hal yang sama tentang seorang ayah.
Dalam artikel Jane Waldfogel dari
Columbia University Schools of Social Work menyoroti manfaat dari hubungan
dekat orang tua-anak dengan menjelaskan bagaimana perawatan penuh kasih sayang
dari orang tua sulit untuk ditiru oleh pengasuh lain karena biasanya orang tua
yang merawat dan mencintai anak-anak mereka dengan tingkat terdalam dari
kesetiaan. Ikatan ketat ini mendorong perkembangan yang sehat pada bayi dan
anak-anak dengan memberi mereka kepercayaan diri dalam struktur sosial mereka.
Dalam
artikel yang berjudul “Should Moms Stay at Home or Work” oleh Ellen Hendriksen, PhD (dimuat pada 12 Juni 2015) menjelaskan bahwa
pada tahun 1998, pemerintah Norwegia memulai program yang layak dan menggiurkan yang disebut "Cash for
Care," yang memberi keluarga dengan anak-anak di bawah usia tiga pembayaran
yang untuk memilih keluar dari tempat penitipan anak nasional. Tentu saja
berarti bahwa seseorang harus tinggal di rumah bersama anak itu. Ini mungkin
ibu, ayah, nenek, atau teman keluarga.
Dalam penelitian tersebut, para
peneliti tidak berfokus pada balita, tetapi pada kakak dan adik lelaki mereka
yang berusia sekolah. Para peneliti menganalisis IPK kelas 10 dan menemukan
bahwa anak-anak dalam keluarga yang memilih keluar dari tempat penitipan anak menjadi
lebih baik di sekolah. Efeknya tidak besar, tetapi signifikan. Dan ketika para
peneliti menggali apa yang menyebabkan kenaikan nilai, mereka menyimpulkan
bahwa peningkatan akademik didorong oleh sekelompok keluarga dimana kebanyakan
ibu meninggalkan tempat kerja untuk tinggal di rumah.
Dalam artikel yang ditulis oleh
Kalpana M, menjadi SAHM (Stay at Home
Moms) sangat bermanfaat. Berikut manfaat yang dapat dirasakan ketika Istri
(sebagai ibu rumah tangga tinggal dirumah):
1. SAHM
memiliki rutinitas. Berada di rumah membantu merencanakan dan mengatur kegiatan
dan menyiapkan rutinitas harian untuk anak dan diri sendiri, sehingga dapat
memberikan makanan kepada mereka tepat waktu, membuat mereka mempelajari
pelajaran mereka, dan mengurus kebutuhan dasar lainnya.
2. SAHM
dapat fokus pada anak-anak. Prioritas istri adalah kesejahteraan anak-anak. Mampu
melacak dengan dekat tonggak sejarah anak-anak, merawat mereka ketika mereka
tidak sehat, dan memastikan keselamatan anak-anak di rumah dan di luar.
Anak-anak juga memiliki kepastian bahwa ibu selalu ada untuk mereka.
3. SAHM
dapat berinteraksi dengan SAHM lain. Seorang ibu dapat memperluas lingkaran
sosialnya, dan membangun jaringan SAHM. Ini akan membantu berbagi pengalaman
satu sama lain dan memberikan solusi untuk masalah masing-masing.
4. Seorang
SAHM akan bebas dari stres terkait pekerjaanm, karena tidak memiliki target
untuk dipenuhi dan tidak perlu khawatir meninggalkan anak bersama orang lain.
5. Seorang
SAHM dapat menghargai saat-saat berharga bersama anak-anaknya. Artinya, dapat mendapatkan
kesempatan untuk memiliki pengalaman yang tak ternilai dengan anak-anaknya. Dapat
menikmati pemandangan wajah polos mereka saat mereka tertidur, dan kehangatan
pelukan dan ciuman mereka.
6. Menjadi
SAHM mendapat kepuasan tersendiri dalam membesarkan anak secara pribadi.
Dalam
artikel lain, Doreen Goodman seorang guru dan psikoterapist terkemuka
menyebutkan bahwa anak-anak harus dirawat terutama oleh figur ibu yang
konsisten selama tiga tahun pertama. Pandangan tersebut didukung oleh psikolog
dan psikiater hebat John Bowlby.
Pengalamannya yang luas dan kerja lapangan membuatnya mengembangkan
teori kelekatan: gagasan bahwa bayi perlu mengalami hubungan yang hangat dan
berkelanjutan dengan ibu mereka (atau pengganti ibu permanen) untuk berkembang.
Dengan kata lain, pembentukan hubungan yang berkelanjutan dengan seorang anak
adalah bagian penting dari mengasuh anak.
Konsultan
psikoterapis anak Robin Balbernie dan profesor pekerjaan sosial dan psikologi
David Howe berbicara tentang bagaimana masalah yang berkembang di masyarakat,
seperti depresi, bisa disebabkan oleh hubungan anak / pengasuh yang buruk dan
stres dalam tiga tahun pertama. John Carnochan, seorang polisi senior
Skotlandia dan pakar kekerasan terkenal di dunia, mengaitkan hal-hal buruk yang
ia tangani dengan semua kehidupan profesionalnya dengan perawatan bayi yang
tidak memadai. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa anak-anak yang
dirawat oleh ibu mereka secara signifikan lebih baik dalam tes perkembangan
daripada mereka yang berada dalam jenis perawatan lainnya.
D.
Kajian
Teori yang Mendukung Opini
Kami
dari tim-pro mendukung mosi karir adalah milik suami (laki-laki) sementara
urusan rumah tangga adalah milik istri. Penelitian
yang dilakukan oleh Herlian dan Daulay (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat
budaya yang tetap memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah
keluarga. Hal tersebut memang tidak dapat terlepas dari Istilah jender
menggambarkan pada konsepsi-konsepsi mengenai peran jenis kelamin yang di
tentukan secara sosial (Steinberg, 1993:2). Menurut Menteri UPW, gender adalah
perbedaan-perbedaan sifat wanita dan pria yang tidak mengacu pada perbedaan
biologis, tetapi mencangkup nilai-nilai sosial budaya. Sehingga menimbulkan
nilai-nilai lain yang berlanjut menjadi nilai umum terhadap sekelompok jenis
tertentu (dalam Parwati, 2000:4). Pengertian jender menurut Santrock
(1977:264), adalah: Gender refers to the
social dimension of being male or female. Two aspects of gender bear special
mention-gender identity and genderrole. Gender identity is the sense of being
male or female, which most children acquire by the time they are 3 years old. A
gender role is a aet of expectations that prescribe how females and males
should think, act, and feel. Pada dasarnya sifat maskulin dan feminin ada
pada setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Sisi maskulin atau
feminine yang akan dikembangkannya tergantung pada perubahan budaya. Pendapat
ini dikuatkan oleh Margaret Mead yang mengatakan bahwa sifat maskulin dan
feminin yang menonjol dimiliki seseorang adalah sebagai produk budaya. Menurut
Simone de, seseorang tidak lahir sebagai laki-laki atau perempuan, tetapi
dibuat oleh budaya menjadi laki-laki atau perempuan (dalam Mitchell J, 1974).
John Locke (1690) mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan
suatu keadaan dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat lahir. Locke
menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup adalah hasil
dari hal-hal yang kita amati dengan menggunakan indera kita. Dia menyimpulkan
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan karakter
mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan perkembangan ini dari
identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia. Jika dikaitkan dengan
teori yang kita kenal dengan tabula rasa tersebut kita dapat memahami bahwa
sejak kita lahir budaya kita memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari
nafkah keluarga dan istri (ibu) sebagai pengurus rumah tangga.
Kami setuju dengan pandangan Doreen Goodman dan John Bowlby
mengenai pentingnya peran ibu dalam pengasuhan anak dan kemudian mengkaitkan
pandangan tersebut dengan teori tabula rasa yang kami jelaskan di atas, dimana
perkembangan manusia dibentuk oleh lingkungan (nurture) misalnya, pola asuh, pendidikan, pergaulan, keluarga, dan
sebagainya. Dari pandangan tersebut,
tentunya kita menyadari bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak akan lebih
optimal jika ibu menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Dalam teori motivasi manusia Maslow menyusun 5 kebutuhan dasar
manusia: Kebutuhan Fisiologis, keamanan, dicintai dan mencintai, self-esteem,
dan aktualisasi diri, Kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan fisiologis
bersifat neostatik (usaha menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik) seperti
makan, minum, gula, garam, protein, serta kebutuhan istirahat dan seks.
Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan absolut (kelaparan dan
kehausan) semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan semua
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini. Jika dikaitkan dengan dengan
kebutuhan fisiologis ini, tentunya Ibu rumah tangga yang tidak memiliki peran
ganda (bekerja dan mengurus rumah) akan lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya. Demikian halnya dengan suami yang bekerja, kebutuhan fisiologis
mereka akan lebih mudah untuk terpenuhi karena istri yang tidak bekerja akan
memiliki focus lebih maksimal dalam pengelolaan kebutuhan fisiologis keluarga
seperti menyediakan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan lain-lain.
Tentunya jika wanita (istri) focus menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga
dan suami dapat focus dalam menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga, keduanya
akan lebih memiliki waktu untuk beristirahat sehingga kebutuhan biologis
seperti seks juga lebih mudah untuk terpenuhi karena ketersediaan waktu bagi
kedua pihak lebih memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Rahmi. 2017. Ini yang Dikorbankan
Wanita Bekerja Sambil Mengurus Rumah. https://wolipop.detik.com/work-and-money/d-3415393/ini-yang-dikorbankan-wanita-bekerja-sambil-mengurus-rumah-tangga (diakses tanggal 05Februari 2019)
Anonymous. Nd. “Mana
yang Lebih Mudah Terkena Stress, Ibu Rumah Tangga Atau Ibu yang Bekerja?”. https://doktersehat.com/mana-yang-lebih-mudah-terkena-stress-ibu-rumah-tangga-atau-ibu-yang-bekerja/ (diakses
pada 6 Februari 2019)
Anonymous. 2015. “Pengangguran Tingkatkan
Depresi Tiga Kali Lipat”. https://lifestyle.sindonews.com/read/983776/152/pengangguran-tingkatkan-depresi-tiga-kali-lipat-1427851505 (diakses pada 6 Februari 2019)
Alteza, M, & Lina Nur Hidayati, L. N.
(2009). “Work family conflict pada wanita bekerja: Studi tentang penyebab,
dampak, dan strategi coping. Universitas
negeri Yogyakarta.
Apperson et al. (2000). “Woman Managers and
the Experience of Work-Family Confict”. American Journal of Undergraduate
Research. Vol. 1. No 3
Bettinger,
E., Hægeland, T. & Rege, M. (2013). Home with Mom: The effects of
stay-at-home parents on children's long-run educational outcomes. Discussion
Papers No. 739, Statistics Norway, Research Department
Booth, A. (1979). Does Wives' Employment Cause Stress for
Husbands? The Family Coordinator, 28(4), 445-449.
doi:10.2307/583503
Cohn, DV,
Caumont A. 7 key findings about stay-at-home moms, Pew Research Center.
Available at: http://www.pewresearch.org/fact-tank/2014/04/08/7-key-findings-about-stay-at-home-moms (diakses
pada tanggal 4 Februari 2019)
Conochie, Alan. 2006. “Other Lives Dooren
Goodman”. Theguadian. https://www.theguardian.com/news/2006/mar/07/orbituaries.mainsection
Eliason, M., & Storrie, D. (2009). Job loss
is bad for your health–Swedish evidence on cause-specific hospitalization
following involuntary job loss. Social science & medicine, 68(8),
1396-1406.
GOÑALONS-PONS, P. I. L. A. R., & GANGL, M.
(2018). Why does unemployment lead to divorce? Male-breadwinner norms and
divorce risk in 30 countries.
Hillin,
Taryn.2016. Men who Face This Ordeal are More Likely to Divorce. Sex and Life
article. (diakses pada 6 Februari 2019)https://splinternews.com/men-who-face-this-ordeal-are-more-likely-to-divorce-1793860732
Linn, M. W., Sandifer, R., & Stein, S. (1985). Effects of
unemployment on mental and physical health. American journal of public
health, 75(5), 502-6.
M, Kalpana. 2018.
“Stay-At-Home Mom: What Are Its Benefits And How To Afford To Be One?”.https://www.momjunction.com/articles/pros-and-cons-of-being-a-stay-at-home-mother_00342701/#gref (diakses pada 4 Januari 2019)
Maslow,
A. H., & Iman,N. (1993). Motivasi dan kepribadian: teori motivasi dengan
pendekatan hirarki kebutuhan manusia. Pustaka Binaman Pressindo
Mooney,
Bell. 2013.”The Scientific Proof That Sending Mothers Out To
Work Harms Children - So why is the Budget penalising those who stay at home?”.
https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2296567/Scientific-proof-stay-home-mothers-benefit-children-So-coalition-Budget-tax-break-working-mothers.html (Diakses pada tanggal 4 Februari 2019)
Purnawati, Tati. 2017. “Banyak Perempuan
Bekerja Pengaruhi Tingginya Angka Perceraian?”. http://www.pikiran-rakyat.com/jaw-barat/2017/01/22/banyak-perempuan-bekerja-pengaruhi-tingginya-angka-perceraian-391340 (diakses pada 4 Januari 2019)
Umbara, C. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Wang, W,
Parker K, Taylor P. Breadwinner Moms, Pew Research Center. Available at: http://www.pewsocialtrends.org/2013/05/29/breadwinner-moms/ (Diakses
pada tanggal 4 Februari 2019)
No comments:
Post a Comment
Luangkanlah waktu untuk berkomentar di blog ini. Berkomentarlah secara bijak( jangan SPAM). Komentar anda adalah suatu kebanggaan buat saya.