Monday, April 22, 2019

KEPEMIMPINAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Pendahuluan
Tentunya penggunaan istilah kepemimpinan tidak terbatas pada kalangan akademisi. Kita terpesona oleh kepemimpinan dalam pemerintahan, masyarakat, dalam ruang rapat, di lapangan sepak bola, dan dalam berbagai lingkup lainya. Kepemimpinan merupakan dimensi penting yangmana individu-individu dievaluasi disemua lapisan masyarakat, bahkan kepemimpinan menjadi topik yang panas selama pemilihan politik.
Kepemimpinan merupakan bakat alami yang dimiliki oleh masing-masing individu. Namun, untuk menjadi seorang pemimpin yang luar biasa sangatlah dibutuhkan kualifikasi yang tinggi, misalnya karakter tipikal yang harus dimiliki seperti optimisme (optimism), kepercayaan diri (self-confindece), kejujuran (honesty), integritas (integrity), dan dorongan (drive). Karakter-karakter tersebut merupakan karakter yang diperlukan oleh seorang pemimpin untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.
Seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan didefinisikan sebagai pengaruh potensial seseorang terhadap sikap dan perilaku dari satu atau lebih individu lainnya (Yukl, 2002). Ini adalah sumber yang bisa digunakan oleh para pemimpin untuk memengaruhi bawahan mereka. Meski kekuasaan dan kekuatan sering dilihat sebagai sesuatu yang secara inheren negatif, organisasi tidak bisa bertahan tanpa kekuatan dasar pengaruh (Steers, Porter, & Bigley, 1996). John French dan Bertram Raven (1958) mengembangkan tipologi kekuasaan yang paling sering dikutip dan dibahas dalam literatur. Tipologi ini mengidentifikasi lima basis kekuatan utama yang masing-masing dapat memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam kepemimpinan dan dinamika sebuah organisasi.
B.      Latar Belakang
Perkembangan sejarah penelitian dan konseptualisasi kepemimpinan telah dilakukan sejak tahun 1930an. Bagaimana kepemimpinan didefinisikan dan seberapa efektif kepemimpinan dievaluasi telah diteliti melalui penelitian maupun meta-analisis sejak saat itu, bahkan berbagai jenis kekuasaan dan bagaimana seorang pemimpin dievaluasi juga telah dijelaskan secara implisit sebagai hasil penelitian maupun studi yang sistematis. Dari hasil penelitian dan studi-studi para ahli juga mendiskripsikan barbagai konsep teori mengenai leadership.
Pada dewasa ini, masyarakat telah menemui beberapa isu yang berkaitan dengan kepemimpinan. Diantaranya adalah isu mengenai gender dan kepemimpinan, budaya dan kepemimpinan, yangmana kedua isu tersebut mempengaruhi proses kepemimpinan dalam lingkup organisasi. Selain isu gender dan budaya, kepemimpinan seringkali dikaitkan dengan emotional intelligence yang merupakan kemampuan, kapasitas atau keahlian untuk menilai dan mengelola emosi seseorang serta memahami emosi orang lain. Kecerdasan emosional dan kemampuan kognitif yang sering diidentifikasikan sebagai variabel kunci dalam menentukan efektifitas pemimpin. Artinya, masih banyak variable lain yang mempengaruhi efektifitas pemimpin.
C.      Rumusan Masalah
1.      Apa definisi kepemimpinan dan seberapa efektif pemimpin dievaluasi?
2.      Apa sajakah jenis-jenis kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan oleh para pemimpin?
3.      Apakah unsur utama dari berbagai teori kepemimpinan?
4.      Bagaimana perkembangan historis dari riset kepemimpinan dan konseptualisasi?
5.      Bagaimana membedakan antara sifat dan perilaku pemimpin?
6.      Jenis kontinjensi yang mempengaruhi proses kepemimpinan?
7.      Bagaimanakahkonsep dalam teori-teori berikut: leader-member exchange theory, implicit leadership theory dan transformational leadership theory?
8.      Apa perbedaan antara pemimpin transformasional dan transaksional?
9.      Bagaimanakah gender dan budaya mempengaruhi proses kepemimpinan?
10.  Bagaimanakah peran pemimpin dan emosi bawahan dalam efektifitas organisasi?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses sosial yangmana seseorang secara sengaja memberi pengaruh pada orang lain untuk menstruktur perilaku dan hubungan mereka. Ada berbagai jenis pemimpin, ada pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk, ada pemimpin yang hanya diberi tanggung jawab dan status dari pemimpin tidak membuat seseorang menjadi pemimpin yang baik.
Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) adalah sebuah fungsi hasil yang dihasilkan oleh mereka yang dipimpin, biasanya dioperasionalkan sebagai kesuksesan kinerja dalam jangka panjang dari pemimpin kelompok kerja atau bawahan-bawahan. Inti kepemimpinan adalah pengaruh atas orang lain dan biasanya terjadi terkait untuk suatu pembangunan hubungan.
B.     Jenis-jenis Kekuasaan dalam Kepemimpinan
Menurut Yukl (2002) kekuasaan (power) didefinisikan sebagai pengaruh potensial seseorang terhadap sikap dan perilaku dari satu atau lebih individu lainnya. Menurut (Steers, Porter, & Bigley, 1996), meskipun terkadang kekuasaan (power) dianggap sebagai sesuatu yang negatif secara terun temurun, organisasi tidak bisa bertahan tanpa kekuasaan dasar dari pengaruh.
John French dan Bertram Raven (1958) mengembangkan tipologi kekuasaan yang paling sering dikutip dan dibahas dalam literatur. Tipologi ini mengidentifikasi lima basis kekuasaan utama, yaitu:

1.      Kekuasaan yang sah (legitimate power)
Kekuasaan yang sah (legitimate power) adalah kekuasaan yang diberikan kepada individu oleh organisasi. Terkadang individu mempertanyakan apakah seorang karyawan tertentu memiliki wewenang untuk membuat keputusan penting, kemudian apakah organisasi telah memberikan orang tersebut kekuatan yang sah untuk membuat keputusan tersebut. Kita dapat memastikan hal tersebut dengan mempertimbangkan sifat jabatan dan tanggung jawab mereka, apakah memiliki kekuatan yang sah atau tidak.
Beberapa individu berpikir bahwa yang mereka butuhkan untuk menjadi pemimpin yang sukses dan terhormat adalah kekuatan yang sah yang diberikan oleh perusahaan. Namun kenyataannya, tidak hanya kekuatan yang sah yang dibutuhkan untuk mencapai kepemimpinanan yang baik.
2.      Kekuasaan penghargaan (reward power)
Kekuasaan penghargaan (reward power) adalah kekuasaan yang dihasilkan dari pengendalian penghargaan atau hasil yang diinginkan orang lain. Orang yang membuat keputusan tentang dalam organisasi mengenai kenaikan gaji, promosi karyawan, dan tugas-tugas dikatakan memiliki kekuasaan penghargaan.
3.      Kekuasaan kekerasan/paksaan (coercion power)
Orang-orang dengan kekuatan pemaksaan memiliki kendali atas hukuman, yangmana sering mereka gunakan untuk membuat orang lain melakukan apa yang mereka inginkan. Manajer yang secara konsisten mengintimidasi karyawan dengan membangkitkan ketakutan di dalam diri mereka dan menyindir mereka jika mereka tidak menghasilkan apa yang diharapkan mereka akan diperingatkan, dipaksa untuk bekerja jam tambahan, atau ditransfer ke posisi yang kurang diminati.
4.      Kekuasaan keahlian (expert power)
Kekuatan pakar terkait dengan pengetahuan khusus atau keahlian seorang karyawan, namun tidak terbatas pada puncak dari hierarki organisasi, misalnya para teknisi computer. Mereka tidak berada di puncak struktur organisasi, tetapi mereka memiliki banyak kekuatan ahli yang penting bagi fung kepemimpinan dari organisasi. Tanpa pengetahuan mereka, organisasi akan timpang (lumpuh). Menurut Steers at al., 1996, expert power pada level rendah organisasi terkadang menyeimbangkan kekuatan yang sah (legitimate power) pada level tinggi.
5.      Kekuasaan rujukan (referent power)
Kekuasaan rujukan (referent power) adalah kekuasaan yang diperoleh melalui rasa hormat atau kekaguman. Meskipun sangat terkait dengan reputasi dan status, kekuatan rujukan dapat diperoleh siapa saja dalam suatu organisasi, terlepas dari posisi hierarkis. Misalnya, karyawan yang ada tidak berada pada hirarki yang tinggi dalam organisasi dan karenanya memiliki penghargaan sah dan kekuatan koersif yang rendah akan mungkin memiliki referent power yang tinggi, karena ia adalah pemain tim yang dihargai yang sepertinya selalu mengatakan dan melakukan hal yang benar dan sangat memperhatikan kebutuhan dan perspektif orang lain.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif, pemimpin perlu memiliki kekuasaan dalam menjalankan kepemimpinan mereka dan mungkin menggunakan berbagai jenis kekuasaan dalam mengelola bawahan mereka dalam situasi yang berbeda. Jika terdapat situasi dimana seorang pemimpin memiliki banyak kekuasaan, membuat bawahannya menjadi skeptis (ragu) terhadap tujuan dan perilakunya, dan bahkan memperlakukan kekuasaan dan bawahannya dengan buruk, maka kepemimpinanan seseorang sangatlah tidak efektif. Dalam semua kasus tersebut, hasilnya adalah kepemimpinan yang sangat tidak efektif.
Kita mengenal berbagai sosok pemimpin baik di dalam maupun di luar organisasi. Dari pemimpin-pemimpin yang sukses kita dapat pertimbangkan kesamaan dan perbedaan mereka. Mungkin bisa mengidentifikasi beberapa kesamaan, seperti ketelitian dan memiliki keterampilan yang baik dan kita juga dapat mengenali banyak perbedaan dalam gaya, pendekatan, kepercayaan, nilai, visi, dan perilaku di antara para pemimpin yang efektif tersebut. Singkatnya, tidak ada satu cara "terbaik" untuk melakukannya memimpin.
C.    Teori-teori dalam Kepemimpinan
1.      Teori Sifat (trait theories)
Teori Trait (trait theories) adalah teori kepemimpinan yang berfokus pada identifikasi karakteristik individu yang membuat individu tersebut menjadi pemimpin yang baik. Terkadang teori ini disebut good man/ the good woman theory.  Kajian mengenai kepemimpinan dimulai pada tahun 1930an, dengan perkembangan dari trait theories.  Pertanyaan utama yang diajukan dalam penelitian semacam itu menyangkut kesamaan apa yang dimiliki oleh pemimpin yang efektif? Apakah kecerdasan? Apakah kepribadian yang mendominasi? Apakah agresivitas? Banyak sekali karakteristik individu dipelajari dalam penelitian di fase awal tersebut, termasuk jenis kelamin, dominasi, kecerdasan, penampilan, energi fisik, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan prestasi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa hanya sedikit, jika ada, sifat universal yang meramalkan kepemimpinan (Stogdill, 1948).
Satu ulasan kontemporer telah menyimpulkan faktor-faktor seperti kecerdasan, dominasi, dan orientasi maskulin adalah prediktor konsisten bukan dari kepemimpinan yang efektif tapi dari tipe orang yang cenderung muncul sebagai pemimpin dalam kelompok kecil (Lord, DeVader, & Alliger, 1986). Dalam kelompok tanpa pemimpin yang ditugaskan, pria-pria yang dipandang lebih cerdas dan dominan dibanding yang lain cenderung mengambil peran pemimpin. Penelitian David Kenny dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa kelenturan perilaku, artinya sejauh mana individu bersedia dan mampu mempertimbangkan perilaku dan perilaku dan pendekatan apa yang bekerja paling baik dalam situasi tertentu adalah prediktor yang sangat berguna yang muncul dari pemimpin dalam kelompok kecil (Kenny & Zaccaro, 1983; Zaccaro, Foti, & Kenny, 1991).
Satu studi menemukan bahwa individu yang tinggi dalam hal dominasi, kecerdasan, dan efikasi diri lebih cenderung muncul sebagai pemimpin daripada mereka yang memiliki pola kepribadian lainnya (Smith & Foti, 1998). Penelitian terbaru lainnya berfokus pada lima sifat besar Big Five Traits). Sebuah analisis meta lebih banyak Dari 70 penelitian ditemukan bahwa lima karakter memiliki kontribusi sebesar 53% dari varians kemunculan pemimpin dan 39% dalam efektifitas pemimpin. Secara khusus, extraversion dan conscientiousness muncul menjadi yang paling penting dan prediktor konsisten (Hakim, Bono, Ilies, & Gerhardt, 2002). Studi yaitu, tentang personil militer di Singapura yang mana ditemukan bahwa extraversion bermain peran penting dalam kepemimpinan efikasi diri (Leadeship self-efficacy / LSE) yaitu kemampuan yang dipahami dari seseorang untuk berhasil menyelesaikan tugas kepemimpinan (Ng, Ang, & Chan, 2008). Individu yang memiliki extraversion tinggi seperti mudah bergaul (sociable) dan tegas (assertive) cenderung untuk menilai dengan tinggi pada skala self-efficacy kepemimpinan yang sering membuat mereka menjadi pemimpin yang efektif.
Sebuah studi laboratorium baru-baru ini juga menemukan dukungan untuk tautan ini (Big FiveàLSEàkeefektifan atau perilaku pemimpin). Model Lima Besar (Big Five Model) yang lahir dari pemikiran Allport and Cattel adalah skema klasifikasi yang populer dan divalidasi dimana kepribadian digambarkan dalam hal lima dimensi luas yaitu:
a.       Keterbukaan (openess) dan berta megacu pada kemampuan untuk bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi dan focus.
b.      Ketelitian (conscientiousness) mengacu pada sikap hati-hati, dapat diandalkan, teratur, memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, terencana, terorganisir, dan bertanggung jawab.
c.       Dominansi (exstraversion) mengacu pada sikap yang cenderung penuh semangat, dominan, ramah, komunikatif, antusias, dan mudah tertantang.
d.      Keramah-tamahan (agreeableness), berkaitan dengan altruism, mengacu pada sikap yang hangat, mudah percaya, kooperatif, mudah mengalah untuk menghindari konflik, suka membantu, pemaaaf dan penyayang.
e.       Neurotisme (neurotism), berkenaan dengan pengaruh dan pengendalian emosi. Individu dengan neurotisme yang tinggi memiliki sifat mudah gugup, sensitif, tegang, impulsive, dan mudah cemas serta rentan dalam menghadapi tekanan.
2.      Teori-teori Perilaku (behaviour theories)
Pada tahun 1950s, setelah para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada ciri khas yang dapat secara konsisten memprediksi kepemimpinan yang efektif, maka sebuah arah baru diambil, penekanannya adalah pada perilaku pemimpin. Teori kepemimpinan berfokus pada identifikasi apa sebenarnya pemimpin-pemimpin lakukan, dengan harapan bahwa pendekatan ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik dari proses kepemimpinan. Penelitian dalam area ini banyak dilakukan di Ohio State University, University of Michigan, dan University of Lowa. Penelitisn Di Lowa yang dipimpin oleh Kurt Lewin meneliti tiga jenis gaya kepemimpinan, yaitu: otoriter, demokratis, dan laissez-faire. Mereka mengungkapkan bahwa sebagian besar bawahan lebih memilih pemimpin demokratis, tetapi tidak banyak hubungan antara gaya kepemimpinan dan perilaku bawahan. Demikian juga dengan kesimpulan dari studi di Ohio State dan Michigan, ketiganya sangat mirip.
Penelitian di Ohio State mengumpulkan laporan tentang perilaku pemimpin dengan menggunakan survei yang disebut Kuesioner Opini Pemimpin (Leader Opinion Questionaire/LOQ), serta pengamatan dan penilaian pemimpin perilaku menggunakan kuesioner disebut Leader Behavior Deskriptif Kuesioner (Leader Behavior Descriptive LBDQ). Dengan skala lima poin mulai dari "Never" sampai "Selalu." Setelah ratusan perilaku pemimpin yang berbeda teridentifikasi dan banyak dimensi diperiksa, mereka dikategorikan dalam dua dimensi utama (Fleishman & Harris, 1962). Perhatikan tabel berikut:

Dimensi pertama, Initiating structure, mengacu pada perilaku pemimpin yangmana menentukan peran yang dimainkan oleh mereka dan bawahan mereka dalam pencapaian tujuan formal kelompok. Contoh perilaku Initiating structure termasuk menetapkan tugas spesifik kepada bawahan, perencanaan ke depan untuk pekerjaan selanjutnya yang harus dikerjakan, mendorong produksi yang lebih tinggi dengan menetapkan tujuan yang sulit, penetapan prosedur, dan sebagainya.
Dimensi kedua, pertimbangan (consideration), menyangkut sejauh mana pemimpin bertindak dengan cara yang mendukung dan menunjukkan kepedulian dan rasa hormat kepada bawahan. Contoh consideration meliputi penekanan pengambilan keputusan secara partisipatif, penempaan komunikasi dua-arah, dan bekerja untuk membangun hubungan baik dengan bawahan. Menariknya, studi University of Michigan mengidentifikasi dua dimensi yang sangat mirip, yaitu: perilaku berorientasi tugas (task-oriented behavior) dan perilaku berorientasi hubungan (relationship-oriented behaviour).
Dimensi pertimbangan dan dimensi initiating-structure dari LBDQ ditampilkan di Tabel 13.2, bersama dengan 10 pernyataan perilaku yang terkait masing-masing. Pertimbangannya jelas tercermin dalam pernyataan seperti "ramah dan mudah didekati" dan "melakukan hal-hal kecil untuk membuatnya menyenangkan untuk menjadi anggota kelompok."Indikatif dari initiating-structure adalah pernyataan seperti "mari anggota kelompok tahu apa yang mereka harapkan" dan "membuat sikapnya jelas bagi kelompok". Sebenarnya pemimpin bisa tinggi atau rendah pada kedua dimensi, consideration dan initiating-structure. Faktanya, ada kecenderungan korelasi positif kecil antara keduanya dimensi tersebut.
Kedua dimensi tersebut merupakan Kontribusi terpenting dari pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan. Sayangnya, temuan-temuan spesifik tidak konsisten. Misalnya, beberapa penelitian telah menemukan korelasi negatif antara perilaku pertimbangan (consideration-behavior dan efektifitas pemimpin (leader effectiveness), sedangkan yang lain yang dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an telah menemukan korelasi positif (Bass, 1985)
Dalam sebuah survei terhadap pekerja di sebuah agen tenaga kerja, misalnya, sikap yang paling menyenangkan diekspresikan oleh mereka yang bekerja untuk pimpinan yang tinggi dikedua orientasi interpersonal dan orientasi tugas. Hubungan ini bervariasi sebagai fungsi gender pemimpin. Menurut (Hutchison, Valentino, & Kirkner, 1998), karyawan yang bekerja untuk pemimpin perempuan yang tinggi dalam orientasi interpersonal dan orientasi tugas tidak melaporkan komitmen organisasi yang lebih dibandingkan karyawan yang bekerja untuk pemimpin perempuan yang rendah dalam kedua dimensi kepemimpinan. Artinya, orientasi interpersonal dan orientasi tugas tidak terlalu dipermasalahkan diantara pemimpin perempuan dibandingkan diantara pemimpin pria.
Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan, tidak ada satu set perilakupun yang muncul secara konsisten terprediksi dalam kepemimpinan yang efektif. Ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena penggunaan beberapa ukuran perilaku pemimpin yang berbeda (Schriesheim, House, & Kerr, 1976), penggunaan kuesioner yang mengandalkan pengingatan kembali perilaku peserta, dan fokus utama pada manajer tingkat rendah (House & Aditya, 1997). Mungkin juga karena dampak dari variabel situasional terhadap proses kepemimpinan.
3.      Teori kontingensi (contigenciy theories)
Teori kontigensi dari Fiedler dipublikasikan pada 1967. Teori ini muncul karena peneliti tidak mampu menemukan serangkaian sifat dan perilaku untuk memrediksi kepemimpinan yang efektif, sehingga mulai mempertimbangkan peran situasinya. Teori kontingensi (contigenciy theories) adalah teori kepemimpinan yang membedakan dari kedua teori sifat dan teori perilaku dengan secara formal menghitung variabel situasional dan kontekstual.
Fred Fiedler berpendapat, pemimpin yang berorientasi pada tugas paling cocok untuk beberapa situasi dan pemimpin yang berorientasi pada hubungan adalah paling cocok untuk orang lain. Inilah teori pertama yang mempertimbangkan karakteristik pemimpin (sifat dan perilaku) dapat berinteraksi dengan variabel situasional untuk mempertimbangkan efektifitas pemimpin.

Situasi yang menguntungkan didefinisikan dalam tiga dimensi. Pada masing-masing dari tiga dimensi ini dapat digambarkan sebagai tinggi atau rendah, menghasilkan delapan tingkat situasi yang menguntungkan. Derajat keuntungan situasional ini sesuai dengan gaya atau orientasi pemimpin yang dapat diukur dengan skala rekan kerja yang paling tidak disukai (least preferred co-worker/LPC). Situasional variable dijelaskan sebagai situational-favorability yang merupakan sebuah fungsi persepsi kontrol pemimpin dari situational control.
 Dimensi pertama dan paling penting dari masalah ini adalah pemimpin sebagai member relation, atau sejauh mana pemimpin memiliki hubungan positif dengan bawahan. Dimensi ke-dua menyangkut jumlah struktur tugas dipekerjaan bawahan, variabel ini mencakup kejelasan tujuan dan prosedur. Dimensi ke-tiga, menyangkut posisi kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin (mungkin terkait dengan legitimate power dan reward power. Situasi yang menguntungkan jika pemimpin memiliki hubungan positif dengan bawahan, jika tugas bawahannya ditentukan dengan baik, dan jika pemimpin memiliki kekuatan untuk membuat keputusan penting.
Menurut Fiedler, daripada mengukur sikap pemimpin secara langsung, Skala LPC mengharuskan kita menyimpulkan investasi pemimpin dalam pencapaian tugas melalui reaksinya kepada rekan kerja yang menghalangi pencapaiannya. Misalnya, jika seorang pemimpin memberi LPC rating yang sangat negatif, kami akan menyimpulkan bahwa penilaian mencerminkan frustrasi atau kemarahan pemimpin (Ayman, Chemers, & Fiedler, 1995). Kita juga akan menyimpulkan bahwa pemimpin berorientasi tugas, artinya pemimpin lebih suka bekerja menuju tujuan dengan menyusun dan mengendalikan tugas. Jika pemimpin memberi nilai LPC dalam kondisi yang menguntungkan, pemimpinnya akan menjadi dianggap berorientasi pada orang (person-oriented), artinya pemimpin lebih suka mencapai tujuan kelompok bekerja sama dengan orang-orang secara interpersonal.
4.      Path-goal Theory
Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mengadopsi pendekatan apa pun yang paling mungkin untuk dicapai tujuan memotivasi bawahan. Dengan pemikiran ini, kita beralih ke path-goal theory tentang efektifitas pemimpin (House, 1971). Path-goal theory muncul dari konsep motivasi yang terkait dengan teori harapan dari Victor Vroom (1964). Teori harapan berpendapat bahwa individu termotivasi untuk menunjukkan perilaku tertentu jika mereka mengharapkan hasil positif atas apa yang dilakukan dan jika mereka menghargai hasil tersebut, seperti House (1996): “Gagasan penting yang mendasari path-goal theory adalah bahwa individu-individu dalam posisi otoritas, pengawas, akan menjadi efektif sejauh mereka melengkapi lingkungan yangmana bawahan mereka bekerja dengan menyediakan klarifikasi kognitif yang diperlukan untuk memastikan bawahan berharap mereka bisa mencapai tujuan pekerjaan dan itu mereka akan  mengalami kepuasan hakiki dan menerima penghargaan sebagai sebuah hasil dari pencapaian tujuan pekerjaan.”Path-goal theory menentukan sejumlah moderator situasional yang memengaruhi hubungan antara perilaku kepemimpinan dan efektifitasnya, serta mengidentifikasi empat jenis perilaku pemimpin: perilaku pemimpin direktif, perilaku pemimpin yang berorientasi pada prestasi, perilaku pemimpin yang mendukung, dan perilaku pemimpin partisipatif (House, 1996).



Dari figure di atas perilaku pemimpin diprediksi memiliki efek langsung pada harapan bawahan dan nilai (yang dimoderatori oleh bawahan dan karakteristik lingkungan) dan persepsi bawahan tentang harapan dan nilai mempengaruhi kepuasan, usaha, dan kinerja mereka (seperti yang diperkirakan oleh teori harapan). Namun, terdapat ulasan dan evaluasi kritis dari teori dan penelitian yang menyertainya, menunjukkan bahwa teori tersebut belum diuji dengan baik, karena masalah metodologis seperti pengukuran yang buruk dari konstruksi, kurangnya perhatian pada variabel menengah (yaitu, harapan bawahan dan persepsi nilai), dan kurangnya kontrol terhadap variabel relevan lainnya (House, 1996; Schriesheim & Neider, 1996). Kritik ini dan tidak adanya valid tes pada path-goal theory menyebabkan reformulasi teori dan meminta lebih banyak pengujian yang lebih hati-hati (House, 1996).
5.      Teori-teori Kontemporer
Dalam teori-teori kontemporer akan dibahas mengenai beberapa teori secara khusus, yaitu:
a.      Teori Pertukaran Pemimpin-anggota (leader–member exchange theory)
Teori pertukaran pemimpin anggota (leader-member exchange/LMX) adalah teori tentang kerja diadik yang berfokus pada hubungan antar bawahan dan pemimpin daripada perilaku atau sifat pemimpin. Sebuah prekursor LMX, dikembangkan pada 1970-an, disebut teori hubungan vertikal dyad (vertical dyads linkage theory/VDL) (Dansereau, Graen, & Haga, 1975). Premis utama teori VDL yang telah dibawa ke LMX adalah gagasan bahwa pemimpin memiliki hubungan yang berbeda dengan bawahan yang berbeda. Sedangkan teori sifat dan perilaku didasarkan pada anggapan bahwa pemimpin menggunakan gaya atau orientasi yang sama (disebut gaya rata-rata kepemimpinan/average leadership style) dengan semua bawahan mereka. VDL menunjukkan bahwa gaya mereka berbeda pada berbagai bawahan. Dengan demikian bawahan ditempatkan atau diklasifikasikan menjadi kelompok in-group dan out-group. Bawahan di dalam kelompok cenderung memiliki hubungan baik dengan pemimpin mereka berdasarkan mutual kepercayaan, tanggung jawab bersama, dan dukungan, mereka yang berada di luar kelompok tidak mengalami hubungan yang sangat kuat dengan pengawas mereka dan cenderung diperlakukan dengan cara yang lebih berorientasi pada tugas (Yukl, 2002).
Menurut teori LMX, kualitas hubungan leader-follower bersifat prediktif dari hasil individu, kelompok, dan tingkat organisasi (Gerstner & Day, 1997). Menurut sebuah meta-analisis terhadap sekitar 80 studi LMX, kualitas hubungan LMX Itu sangat terkait untuk hasil seperti peringkat kinerja bawahan, kepuasan pekerjaan, komitmen organisasional, kejelasan peran, konflik peran, dan intensi turnover. Memiliki hubungan berkualitas tinggi dengan atasan seseorang bisa mempengaruhi seluruh pengalaman kerja dengan cara yang sangat positif (Gerstner & Day, 1997).
Dalam penelitian ditemukan hubungan LMX yang positif terkait dengan peringkat kinerja yang menguntungkan. Namun, para peneliti juga menemukan bahwa hubungan ini diperkuat dengan frekuensi komunikasi antara pemimpin dan pengikut (Kacmar, Witt, Zivnuska, & Gully, 2003). Artinya, LMX terkait lebih kuat dengan penilaian kinerja jika anggota sering berkomunikasi. Sebuah studi baru-baru ini juga menunjukkan bahwa LMX berperan dalam bagaimana karyawan menanggapi taktik perubahan organisasi yang berbeda. Karyawan dalam hubungan LMX yang menguntungkan sedikit memiliki kecenderungan untuk menolak taktik perubahan organisasi-bahkan yang termasuk sanksi atau paksaan, yang sering meningkatkan ketahanan pada mereka yang rendah di LMX (Furst & Cable, 2008).
Meskipun teori LMX mengasumsikan bahwa para pemimpin memperlakukan anggotanya dengan berbeda. Para peneliti berpendapat bahwa variabilitas di LMX dalam sebuah karya kelompok mungkin memiliki efek negatif pada hasil karena anggota tim memandang hal itu prinsip kesetaraan telah dilanggar jika anggota tim menerima tingkat yang berbeda rasa hormat, kepercayaan, dan sumber daya nyata (Hooper & Martin, 2008). Terkait dengan lebih banyak konflik tim dan rendahnya tingkat kepuasan kerja dan kesejahteraan karyawan, mungkin para pemimpin perlu berhati-hati dalam mengembangkan hubungan berbeda kualitas dengan anggota tim.
b.      Teori Kepemimpinan Implisit (implicit leadership theory)
Implicit leadership Theory (ILT) menekankan persepsi bawahan pada perilaku pemimpin, menjaga agar para pemimpin memengaruhi kinerja bawahan melalui perilaku, sifat, kualitas karismatik, dan kemampuan untuk menyusun situasi dan peran yang jelas (Lord, 2000). ILT memandang kepemimpinan sebagai hasil dari proses persepsi yang melibatkan kedua pemimpin dan bawahan. Lord dan Maher (1991) mendefinisikan kepemimpinan dalam hal apakah seseorang dianggap oleh orang lain sebagai pemimpin. Lord mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses yangmana seorang pemimpin mengubah cara bawahannya membayangkan diri (Lord & Brown, 2004).
Gagasan utamanya adalah bahwa kita semua memiliki keyakinan implisit tentang kualitas pribadi dan perilaku pemimpin yang berkembang dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh pengalaman dan sosialisasi. Kadangkala kita menggunakan kata prototype untuk merujuk pada seseorang representasi mental seorang pemimpin (prototype seorang pemimpin misalnya: seseorang yang cerdas, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, berkomitmen terhadap pekerjaan yang perlu dilakukan dan kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan, dan tahu cara memotivasi para karyawan). Lord dan rekan-rekannya (1984) menunjukkan percobaan penelitian bahwa ketika orang mengamati seseorang berperilaku konsisten dengan prototype mereka untuk pemimpin yang efektif, mereka menyimpulkan bahwa orang ini adalah pemimpin yang efektif. Implikasinya, efektifitas kepemimpinan mungkin lebih mengarah pada persepsi bawahan pada tindakan para pemimpin. Penelitian lain (Phillips & Lord, 1981) telah menunjukkan bahwa orang mengembang secara kesan global dari efektifitas pemimpin berdasarkan sejauh mana pemimpin tertentu sesuai dengan prototype mereka.


Dalam figure di atas menceritakan pengalam seseorang yang memiliki boss bernama Jared. Pengalamannya mengenai perilaku Jared dievaluasi dari prototypee pemimpin efektif (Kotak A). Ia telah memutuskan bahwa Jared adalah pemimpin yang efektif (Kotak C), karena dia cocok dengan bagian yang menonjol (Box B). Dari prototypee itu (misalnya, intelligent, excellent communication skill, commited). Ia diminta untuk menilai Jared apakah dia mandiri atau dimensi lain dari tingkah lakunya yang belum saya amati. Ia memutuskan Jared adalah seorang pemimpin yang efektif karena mandiri adalah bagian dari prototype pemimpin efektifnya, Jared sendiri juga harus menjadi self-starter (Kotak D).
c.       Teori Kepemimpinan Transformasional (transformational leadership theory).
Perubahan paradigma utama terjadi di pekerjaan kepemimpinan pada pertengahan 1970-an, menghasilkan kelas teori yang disebut sebagai teori kepemimpinan baru (House & Aditya, 1997). Teori ini memiliki empat hal berikut karakteristik yang sama: (1) Mereka menjelaskan bagaimana pemimpin dapat membawa organisasi ke level baru; (2) Mereka menjelaskan bagaimana pemimpin tertentu dapat mencapai tingkat motivasi, komitmen, dedikasi, yang luar biasa; (3) Mereka stres secara emosional menarik perilaku seperti memberdayakan, mengembangkan visi, dan pemodelan peran untuk bawahan  mereka; dan (4) Mereka mendorong peningkatan harga diri dan kepuasan bawahan, juga sebagai identifikasi dengan nilai dan visi pemimpin (House & Aditya, 1997).
Menurut (Bass, 1985) kepemimpinan transformasional adalah sebuah bentuk kepemimpinan dimana interaksi pemimpin dan bawahan meningkat ke tingkat yang lebih tinggi dari motivasi dan moralitas daripada yang dapat mereka capai secara individu. Pemimpin transformasional berusaha memotivasi bawahan untuk melampaui ketertarikan diri dan mencapai yang lebih daripada mereka pikir itu mungkin.
Kepemimpinan transformasional dibedakan dari kepemimpinan transaksional (transaksional leadership) yang mana hubungan antara pemimpin dan bawahan didasarkan pada pertukaran dan tidak lebih (Bass, 1985; Bass & Steidlmeier, 1999). Pengertian kepemimpinan transaksional secara umum yaitu suatu bentuk kepemimpinan yangmana hubungan antara pemimpin dan bawahan terutama didasarkan pada pertukaran, dengan menekankan kesatuan penguatan. Misalnya, pemimpin yang lebih transaksional daripada transformasional cenderung memberi tahu bawahan mereka apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang akan mereka dapatkan jika mereka memenuhi harapan tersebut, daripada menekankan bagaimana bawahan dapat tumbuh dan berkembang dalam organisasi.
Kepemimpinan transformasional dapat digambarkan dalam empat komponen utama (Bass & Steidlmeier, 1999). Komponen utama tersebut yaitu: (1) Pengaruh ideal (idealized influence), mengacu pada karisma yang diangkat ke sebuah hubungan oleh seorang pemimpin yang membangkitkan hasrat kuat pada dirinya dengan mengidentifikasi atau meniru pemimpin. (2) Motivasi inspirasional (inspirational motivation) memberi bawahan tantangan dan alasan untuk terlibat dalam tujuan bersama. (3) Stimulasi intelektual (intellectual stimulation) mengacu pada proses dimana pemimpin transformasional meningkatkan kesadaran bawahan melalui masalah dari perspektif baru (4) Pertimbangan individual (individualized consideration) mengacu pada apa yang para pemimpin bagikan pada bawahan saat mereka memperlakukan masing-masing sebagai individu, memberikan dukungan, dorongan, dan menumbuhkan pengalaman untuk semua.
Penelitian telah menghubungkan kepemimpinan transformasional dengan hasil organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja kelompok kerja (House & Aditya, 1997). Sebuah meta-analisis telah menunjukkan bahwa empat perilaku transformasional utama, yaitu pengaruh ideal, motivasi inspirasional, intelektual stimulasi, dan pertimbangan individual, secara signifikan berkorelasi dengan efektifitas kepemimpinan (Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam, 1996). Elemen kepemimpinan transaksional juga penting, seperti memperkuat bawahan berdasarkan kinerja mereka. Dengan demikian, pemimpin transformasional lebih berhasil jika mereka meunjukkan beberapa perilaku transaksional juga, tapi kepemimpinan transaksional saja biasanya tidak begitu sukses (Bass, 1985). Satu studi baru-baru ini (Schaubroeck, Lam, & Cha, 2007) menemukan transformasi kepemimpinan-tim yang positif bahwa hubungan kinerja diperkuat ketika tim tersebut tinggi dalam kolektivisme (yaitu, tinggi pada tujuan bersama dan kekompakan) dan kekuatan jarak (yaitu, sangat menghormati otoritas dan melihat perbedaan status sebagai hal yang sah).
D.    Arah Baru dalam Penelitian Kepemimpinan
Kita akan membahas tentang dampak isu gender dalam kepemimpinan yangmana memberi implikasi signifikan untuk efektifitas organisasi. Kemudian akan kita pertimbangkan pengaruh budaya terhadap kepemimpinan dan peran emosi dalam kepemimpinan.
1.      Gender dan Kepemimpinan
Wanita dan minoritas saat ini dipekerjakan dengan tingkat yang jauh lebih besar daripada lihat sebelumnya di Amerika. Enam dari 10 wanita usia 16 ke atas adalah peserta angkatan kerja di tahun 2007. Mereka juga membentuk 46% angkatan kerja dan jumlah itu diproyeksikan meningkat (Departemen Tenaga Kerja A.S., 2008). Sekitar 50% dari semua manajemen dengan gaji tinggi, profesional, dan pekerjaan terkait dipegang oleh wanita di tahun 2007. Enam belas juta pekerjaan telah diciptakan di Negara Amerika selama dekade terakhir dan wanita telah mengamankan sekitar setengah dari pekerjaan itu (Departemen Tenaga Kerja A.S., 2008).
Glass ceiling mengacu pada situasi dimana individu-individu terkualifikasi dicegah untuk benar-benar mencapai semua yang mereka bisa karena beberapa bentuk diskriminasi. Komisi glass-ceiling dibentuk pada tahun 1991 untuk mempelajari hambatan yang menghalangi perempuan naik ke puncak jabatan perusahaan. Selain itu, pada tahun 2008 Hilary Clinton berpartisipasi dalam kampanye presiden, dimana ia mencatat bahwa kampanyenya "membuat keretakan di glass-ceiling”. Namun, terlepas dari contoh seperti ini kemajuan besar telah dicapai wanita dalam angkatan kerja dan posisi manajemen. Meskipun demikian masih ada jalan yang panjang untuk menghilangkan efek dari glass-ceiling secara menyeluruh.
Alice Eagly telah membawa isu gender ke permukaan dari studi kepemimpinannya. Dalam serangkaian meta-analisis, dia dan rekan-rekannya mengidentifikasi variabel penting yang terlibat dalam hubungan gender dengan kepemimpinan dan merangkum gambar besar. Misalnya, mereka telah melihat peran gender dalam gaya kepemimpinan dan menemukan perbedaan yang konsisten (walaupun kecil) antara pria dan wanita, termasuk fakta bahwa wanita lebih partisipatif dan berorientasi interpersonal daripada laki-laki (Eagly & Johnson, 1990). Dari meta-analisis tersebut disimpulkan bahwa perempuan cenderung kehilangan otoritas atau kekuasaan yang sah jika mereka mempekerjakan wanita (partisipatif dan interpersonal berorientasi) gaya dari kepemimpinan dalam peran yang didominasi laki-laki (Eagly & Johnson, 1990).
Secara tradisional peran pemimpin dimainkan oleh laki-laki, sehingga muncul fakta bahwa perempuan dijauhkan dari kesuksesan dalam posisi kepemimpinan dan muncul stereotype tentang kepemimpinan daripada kemampuan wanita yang sesungguhnya dalam memimpin. Namun dalam sebuah meta-analisis yang ekstensif ada literatur yang mendukung prediksi bahwa laki-laki muncul lebih sering sebagai pemimpin dalam situasi pekerjaan yang berorientasi pada tugas, sedangkan perempuan muncul lebih sering sebagai pemimpin dalam situasi yang berorientasi sosial (Eagly & Karau, 1991). Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa wanita memiliki dominasi tinggi (ciri pemimpin yang secara empiris diidentifikasi) lebih cenderung muncul sebagai seorang pemimpin dalam setting laboratorium dengan pasangan laki-laki jika diberi seorang pemimpin wanita panutan. Namun, bahkan wanita tinggi dalam dominasi sebagai ciri kepribadian cenderung tidak muncul sebagai pemimpin saat mengalami model pemimpin pria (Carbonell & Castro, 2008).
Sebuah meta-analisis meninjau peran gender dalam efektifitas kepemimpinan (Eagly, Karau, & Makhijani, 1995) mengajukan dua pertanyaan yang sangat penting: (1) Apakah pemimpin gender tertentu lebih efektif daripada pemimpin gender lainnya? (2) Apakah situasi atau konteks mempengaruhi kemungkinan bahwa pemimpin gender tertentu atau yang lainnya akan lebih efektif? Berdasarkan teori peran gender, para periset ini meramalkan bahwa pria akan lebih efektif-atau setidaknya dianggap lebih efektif-daripada wanita dalam peran kepemimpinan. Hasil meta-analysis tersebut yaitu: (1) Perempuan dan laki-laki tidak berbeda secara keseluruhan seperti yang dipahami sebagai pemimpin yang efektif. (2) Kepribadian gender memang melunakkan hububungan efektifitas gender / hubungan pemimpin: Pemimpin laki-laki dianggap lebih efektif dalam konteks yang sesuai untuk pria dan pemimpin wanita dianggap sebagai lebih efektif dalam konteks yang sesuai dengan wanita (Eagly et al., 1995).
Meta-analisis perilaku kepemimpinan diberbagai gender menemukan bahwa para pemimpin perempuan cenderung menunjukkan tingkat perilaku kepemimpinan transformasional yang lebih tinggi dan perilaku penghargaan kontingen transaksional daripada pemimpin pria yang cenderung menunjukkan perilaku transaksional yang lebih kurang efektif (contoh: pengelolaan dengan pengecualian) daripada pemimpin wanita (Eagly, Johannesen-Schmidt, & van Engen, 2003). Meskipun perbedaan ini umumnya kecil, namun secara statistik sangat penting; ada juga perbedaan statistik kecil antara jenis kelamin pada hasil kepemimpinan seperti efektifitas dengan wanita tampil lebih baik dari pada pria. Analisis Vecchio dan penilaian Eagly dan rekan-rekannya mengarah pada kesimpulan yang berbeda, menunjukkan kebutuhan akan penelitian tambahan dan pengembangan konseptual yang lebih baik (Eagly, 2007).
2.      Budaya dan Kepemimpinan
Meskipun isu budaya diabaikan oleh para periset kepemimpinan selama bertahun-tahun, sejak saat itu isu budaya menjadi fokus penelitian (Dickson, Hanges, & Lord, 2000) karena ekonomi global dan peningkatan diversifikasi organisasi. Robert House dan rekan-rekannya telah mengajukan teori kepemimpinan lintas budaya yang mempertahankan perilaku yang diharapkan, diterima, dan perilaku efektif perilaku berbeda-beda oleh budaya (House & Aditya, 1997). Budaya tertentu menilai pada pemimpinnya didasarkan pada teori kepemimpinan implisit yang didukung oleh budaya tersebut. Menurut (Ensari & Murphy, 2003) sebuah studi menunjukkan bahwa prototypee kepemimpinan berkembang melalui proses yang berbeda dalam budaya individualistis versus kolektivis.
Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (GLOBE) melakukan proyek penelitian yang melibatkan 61 negara dan lebih dari 200 peneliti dipimpin oleh House. Para peneliti ini berdebat bahwa meskipun beberapa perilaku atau sifat pemimpin secara universal dapat diterima dan efektif, masih banyak lagi penerimaan dan efektifitas lebih pada budaya yang spesifik (House & Aditya, 1997). Menurut (House et, al., 1999) sebanyak 22 atribut kepemimpinan konsisten dengan kepemimpinan transformasional didukung secara universal oleh manajer tingkat menengah di 60 negara.
Ada kemungkinan bahwa sifat dan perilaku lainnya berbeda-beda antar budaya. Satu studi menunjukkan perbedaan yang dimungkinkan (Gerstner & Day, 1994). Para peneliti tersebut mengelola sebuah survei yang mengukur 59 ciri kepemimpinan pada sebuah sampel mahasiswa internasional dan pascasarjana Amerika (sampel internasional terdiri dari siswa dari China, Prancis, Jerman, Honduras, India, Jepang, dan Taiwan), mereka menemukan bahwa sifat-sifat yang dilihat sebagai karakteristik pemimpin bisnis sangat bervariasi antar budaya. Hasil ini menunjukkan bahwa prototype kepemimpinan juga berbeda antar budaya. Misalnya, lima ciri paling prototypeikal yang diidentifikasi oleh peserta Jepang adalah disiplin, cerdas, dapat dipercaya, berpendidikan, dan bertanggung jawab; yang diidentifikasi oleh peserta A.S. bersifat gigih, rajin, memiliki keterampilan verbal yang baik, berorientasi pada tujuan, dan tabah. Singkatnya, ada yang jelas perbedaan antara kedua budaya ini dalam hal apa yang mereka anggap prototypeikal kepemimpinan.
Temuan lainnya yaitu: (1) Tidak ada satu sifat pun yang muncul dalam kategori lima besar pada semua delapan negara, menunjukkan variabilitas prototype kepemimpinan yang cukup besar; Namun, berorientasi pada tujuan adalah sifat yang terlihat sebagai prototypee dalam jumlah terbesar dari kebanyakan negara.(2) mengkategorikan budaya sebagai Barat atau Timur menimbulkan beberapa konsistensi dalam kedua subkelompok ini. Dalam budaya dikategorikan Barat (yaitu, Prancis, Jerman, Honduras, India, dan Amerika Serikat) tabah (determined) memiliki prototypeikal sangat tinggi, sedangkan pada kategori Eastern (yaitu Taiwan, China, dan Jepang), kecerdasan (intelligence) sangat prototypeikal. Dengan demikian, terdapat perbedaan kepemimpinan yang dapat diandalkan dalam persepsi kepemimpinan lintas budaya. Implikasinya adalah bahwa kita perlu memahami perbedaan lebih jauh jika kita ingin memahami sifat sejati proses kepemimpinan. Kesadaran tinggi akan perbedaan dapat membantu karyawan memahami rekan kerja mereka lebih baik dan mungkin membantu organisasi memahami karyawan mereka lebih baik, sebagai tempat kerja terus berlanjut untuk menjadi lebih berbeda dan bersifat global.
3.      Emosi dan Kepemimpinan
Penelitian telah mulai menggambar kaitan antara ekspresi emosi pemimpin transformasional dan berbagai hasil. Penelitian baru-baru ini menunjukkan dengan jelas bahwa pemimpin transformasional mengekspresikan lebih banyak emosi positif daripada pemimpin yang sedikit transformasional dan bahwa emos-emosi positif ini memiliki efek langsung pada suasana hati bawahan. Menurut (Bono & Ilies, 2006) emosi para pemimpin dan suasana hati para bawahan memiliki efek positif pada efektifitas pemimpin dan daya tarik yang dirasakan dari pemimpin.
Emosi dan kepemimpinan melibatkan Kecerdasan Emosi (EI) yaitu, kemampuan, kapasitas atau keahlian untuk menilai dan mengelola emosi seseorang serta memahami emosi orang lain. Kecerdasan emosional dan kemampuan kognitif yang sering diidentifikasikan sebagai variabel kunci dalam menentukan efektifitas pemimpin. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa sebuah unsur EI, yaitu empati (kemampuan untuk memahami dan mengidentifikasi dengan perasaan orang lain), memainkan peran sentral dalam mempengaruhi persepsi kepemimpinan, baik sebagai perilaku kepemimpinan relasional maupun perilaku kepemimpinan berbasis tugas (Kellett, Humphrey, & Sleeth, 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa pemimpin yang cerdas secara emosional menciptakan ikatan dengan bawahan mereka karena para bawahan merasa dihargai dan mengerti.












BAB III
PENUTUP
E.     Kesimpulan
Kepemimpinan adalah proses sosial yangmana seseorang secara sengaja memberi pengaruh pada orang lain untuk menstruktur perilaku dan hubungan mereka. Pada dasarnya ada lima jenis kekuasaan yang dimiliki pemimpin, yaitu kekuasaan yang sah (legitimate power), kekuasaan penghargaan (reward power), expert power, dan kekuasaan rujukan (referent power). Terdapat berbagai macam teori dalam penekanan teoritis serta berbagai hasil penelitian empiris yang dilakukan di lapangan.
Teori-teori tersebut antara lain: Teori sifat (trait theories) yangmana menjelaskan tentang Big Five Model pemimpin menurut Allport dan Cattel (keterbukaan, ketelitian, dominansi, keramahtamahan, neurotisme). Berikutnya adalah teori perilaku (behaviour theories) yangmana membentuk dua dimensi yaitu dimensi initiating structure dan dimensi pertimbangan (consideration). Selanjutnya, teori kemungkinan (contingency theory) yangmana menurut Fred Fedler teori ini mempertimbangkan karakteristik pemimpin (sifat dan perilaku) dengan mempertimbangkan variable situasional dankontekstual. Teori kemungkinan ini memiliki tiga dimensi, yaitu: Dimensi pemimpin sebagai member-relation, dimensi strutur tugas dalam pekerjaan bawahan, serta dimensi posisi kekuasaan. Selanjutnya adalah path-goal theory, yangmana terkait dengan konsep motivasi yang berhubungan dengan teori harapan dari Victor Vroom. Dalam teori path-goal, House mendefinisikan 4 jenis perilaku, yaitu: Directive leader behaviors, achievement-oriented leader behaviors, supportive leader behaviors, dan participative leader behaviors. Teori tang terakhir adalah teori-teori kontemporer. Teori ini terdiri dari tiga, yaitu: Teori pertukaran pemimpin & anggota (leader-member exchange teory), teori kepemimpinan implisit (implicit leadership theory), teori transformasional (transformational leadership theory). Teori pertukaran pemimpin & anggota adalah teori tentang kerja diadik yang berfokus pada hubungan antar bawahan dan pemimpin daripada perilaku atau sifat pemimpin. Teori kepemimpinan implisit menekankan persepsi bawahan terhadap perilaku pemimpin. Teori kepemimpinan transformasional adalah sebuah bentuk kepemimpinan dimana interaksi pemimpin dan bawahan meningkat ke tingkat yang lebih tinggi dari motivasi dan moralitas daripada yang dapat mereka capai secara individu.
Dalam isu gender dan kepemimpinan muncul isu glass-ceilling yangmana mengacu pada situasi dimana individu-individu terkualifikasi dicegah untuk benar-benar mencapai semua yang mereka bisa karena beberapa bentuk diskriminasi. Berbagai anggapan negatif muncul tentang pemimpin wanita. Namun, faktanya di Amerika Serikat isu tersebut dapat teratasi, bahkan hasil meta-analysis menyebutkan wanita dan pria tidak berbeda secara keseluruhan seperti yang dipahami sebagai pemimpin yang efektif. (2) Kepribadian gender memang melunakkan hububungan efektifitas gender / hubungan pemimpin, pemimpin pria dianggap lebih efektif dalam konteks yang sesuai untuk pria dan pemimpin wanita dianggap sebagai lebih efektif dalam konteks yang sesuai dengan wanita.
Mengenai budaya dan kepemimpinan, sebuah hasil penelitian menggambarkan bahwa terdapat perbedaan prototype kepemimpinan dalam persepsi kepemimpinan lintas budaya. Sehingga, kesadaran tinggi akan perbedaan tersebut dapat membantu karyawan memahami rekan kerja mereka lebih baik dan mungkin membantu organisasi memahami karyawan mereka lebih baik, sebagai tempat kerja terus berlanjut untuk menjadi lebih berbeda dan bersifat global.
Dalam hubungan kepemimpinan dan emosi unsur Emotional Intelligence (EI), yaitu empati (kemampuan untuk memahami dan mengidentifikasi dengan perasaan orang lain), memainkan peran sentral dalam mempengaruhi persepsi kepemimpinan, baik sebagai perilaku kepemimpinan relasional maupun perilaku kepemimpinan berbasis tugas. Artinya, pemimpin yang cerdas secara emosional menciptakan ikatan dengan bawahan mereka karena para bawahan merasa dihargai dan mengerti.














DAFTAR PUSTAKA

Hodkinson, G. P. & Ford. J. K. (2010). International review of industrial and organizational psychology. Vol 25. West Sussex: Willey-Blackwell
Levy, P.E (2010). Industial organizational psychological understanding the workplace, New York, NY 10010: Worth Publisher 41 Madison Avenue


No comments:

Post a Comment

Luangkanlah waktu untuk berkomentar di blog ini. Berkomentarlah secara bijak( jangan SPAM). Komentar anda adalah suatu kebanggaan buat saya.

PERSIAPAN SEBELUM MENGAJAR | CINTAILAH PROFESI ANDA

  Bila seseorang sedang jatuh cinta, apa pun akan dilakukan untuk   mendapatkan cintanya. Tidak cukup waktu, energi, harta,   benda, bahkan ...