BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Tentunya
penggunaan istilah kepemimpinan tidak terbatas pada kalangan akademisi. Kita terpesona
oleh kepemimpinan dalam pemerintahan, masyarakat, dalam ruang rapat, di
lapangan sepak bola, dan dalam berbagai lingkup lainya. Kepemimpinan merupakan
dimensi penting yangmana individu-individu dievaluasi disemua lapisan
masyarakat, bahkan kepemimpinan menjadi topik yang panas selama pemilihan
politik.
Kepemimpinan
merupakan bakat alami yang dimiliki oleh masing-masing individu. Namun, untuk
menjadi seorang pemimpin yang luar biasa sangatlah dibutuhkan kualifikasi yang
tinggi, misalnya karakter tipikal yang harus dimiliki seperti optimisme (optimism), kepercayaan diri (self-confindece), kejujuran (honesty), integritas (integrity), dan dorongan (drive). Karakter-karakter tersebut
merupakan karakter yang diperlukan oleh seorang pemimpin untuk menjadi seorang
pemimpin yang efektif.
Seorang
pemimpin yang memiliki kekuasaan didefinisikan sebagai pengaruh potensial
seseorang terhadap sikap dan perilaku dari satu atau lebih individu lainnya
(Yukl, 2002). Ini adalah sumber yang bisa digunakan oleh para pemimpin untuk memengaruhi
bawahan mereka. Meski kekuasaan dan kekuatan sering dilihat sebagai sesuatu
yang secara inheren negatif, organisasi tidak bisa bertahan tanpa kekuatan
dasar pengaruh (Steers, Porter, & Bigley, 1996). John French dan Bertram
Raven (1958) mengembangkan tipologi kekuasaan yang paling sering dikutip dan
dibahas dalam literatur. Tipologi ini mengidentifikasi lima basis kekuatan
utama yang masing-masing dapat memiliki potensi untuk memainkan peran penting
dalam kepemimpinan dan dinamika sebuah organisasi.
B.
Latar
Belakang
Perkembangan
sejarah penelitian dan konseptualisasi kepemimpinan telah dilakukan sejak tahun
1930an. Bagaimana kepemimpinan didefinisikan dan seberapa efektif kepemimpinan
dievaluasi telah diteliti melalui penelitian maupun meta-analisis sejak saat
itu, bahkan berbagai jenis kekuasaan dan bagaimana seorang pemimpin dievaluasi
juga telah dijelaskan secara implisit sebagai hasil penelitian maupun studi
yang sistematis. Dari hasil penelitian dan studi-studi para ahli juga
mendiskripsikan barbagai konsep teori mengenai leadership.
Pada
dewasa ini, masyarakat telah menemui beberapa isu yang berkaitan dengan
kepemimpinan. Diantaranya adalah isu mengenai gender dan kepemimpinan, budaya
dan kepemimpinan, yangmana kedua isu tersebut mempengaruhi proses kepemimpinan
dalam lingkup organisasi. Selain isu gender dan budaya, kepemimpinan seringkali
dikaitkan dengan emotional intelligence
yang merupakan kemampuan, kapasitas atau keahlian untuk menilai dan mengelola
emosi seseorang serta memahami emosi orang lain. Kecerdasan emosional dan
kemampuan kognitif yang sering diidentifikasikan sebagai variabel kunci dalam menentukan
efektifitas pemimpin. Artinya, masih banyak variable lain yang mempengaruhi efektifitas
pemimpin.
C.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi kepemimpinan dan seberapa efektif pemimpin dievaluasi?
2. Apa
sajakah jenis-jenis kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan oleh
para pemimpin?
3. Apakah
unsur utama dari berbagai teori kepemimpinan?
4. Bagaimana
perkembangan historis dari riset kepemimpinan dan konseptualisasi?
5. Bagaimana
membedakan antara sifat dan perilaku pemimpin?
6. Jenis
kontinjensi yang mempengaruhi proses kepemimpinan?
7. Bagaimanakahkonsep
dalam teori-teori berikut: leader-member
exchange theory, implicit leadership theory dan transformational leadership theory?
8. Apa
perbedaan antara pemimpin transformasional dan transaksional?
9. Bagaimanakah
gender dan budaya mempengaruhi proses kepemimpinan?
10. Bagaimanakah
peran pemimpin dan emosi bawahan dalam efektifitas organisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kepemimpinan
Kepemimpinan
adalah proses sosial yangmana seseorang secara sengaja memberi pengaruh pada
orang lain untuk menstruktur perilaku dan hubungan mereka. Ada berbagai jenis
pemimpin, ada pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk, ada pemimpin yang
hanya diberi tanggung jawab dan status dari pemimpin tidak membuat seseorang
menjadi pemimpin yang baik.
Kepemimpinan
yang efektif (effective leadership)
adalah sebuah fungsi hasil yang dihasilkan oleh mereka yang dipimpin, biasanya
dioperasionalkan sebagai kesuksesan kinerja dalam jangka panjang dari pemimpin
kelompok kerja atau bawahan-bawahan. Inti kepemimpinan adalah pengaruh atas
orang lain dan biasanya terjadi terkait untuk suatu pembangunan hubungan.
B.
Jenis-jenis
Kekuasaan dalam Kepemimpinan
Menurut
Yukl (2002) kekuasaan (power)
didefinisikan sebagai pengaruh potensial seseorang terhadap sikap dan perilaku
dari satu atau lebih individu lainnya. Menurut (Steers, Porter, & Bigley,
1996), meskipun terkadang kekuasaan (power)
dianggap sebagai sesuatu yang negatif secara terun temurun, organisasi tidak
bisa bertahan tanpa kekuasaan dasar dari pengaruh.
John
French dan Bertram Raven (1958) mengembangkan tipologi kekuasaan yang paling
sering dikutip dan dibahas dalam literatur. Tipologi ini mengidentifikasi lima
basis kekuasaan utama, yaitu:
1.
Kekuasaan
yang sah (legitimate power)
Kekuasaan
yang sah (legitimate power) adalah
kekuasaan yang diberikan kepada individu oleh organisasi. Terkadang individu
mempertanyakan apakah seorang karyawan tertentu memiliki wewenang untuk membuat
keputusan penting, kemudian apakah organisasi telah memberikan orang tersebut
kekuatan yang sah untuk membuat keputusan tersebut. Kita dapat memastikan hal
tersebut dengan mempertimbangkan sifat jabatan dan tanggung jawab mereka,
apakah memiliki kekuatan yang sah atau tidak.
Beberapa
individu berpikir bahwa yang mereka butuhkan untuk menjadi pemimpin yang sukses
dan terhormat adalah kekuatan yang sah yang diberikan oleh perusahaan. Namun
kenyataannya, tidak hanya kekuatan yang sah yang dibutuhkan untuk mencapai
kepemimpinanan yang baik.
2.
Kekuasaan
penghargaan (reward power)
Kekuasaan
penghargaan (reward power) adalah
kekuasaan yang dihasilkan dari pengendalian penghargaan atau hasil yang
diinginkan orang lain. Orang yang membuat keputusan tentang dalam organisasi
mengenai kenaikan gaji, promosi karyawan, dan tugas-tugas dikatakan memiliki
kekuasaan penghargaan.
3.
Kekuasaan
kekerasan/paksaan (coercion power)
Orang-orang
dengan kekuatan pemaksaan memiliki kendali atas hukuman, yangmana sering mereka
gunakan untuk membuat orang lain melakukan apa yang mereka inginkan. Manajer
yang secara konsisten mengintimidasi karyawan dengan membangkitkan ketakutan di
dalam diri mereka dan menyindir mereka jika mereka tidak menghasilkan apa yang
diharapkan mereka akan diperingatkan, dipaksa untuk bekerja jam tambahan, atau
ditransfer ke posisi yang kurang diminati.
4.
Kekuasaan
keahlian (expert power)
Kekuatan
pakar terkait dengan pengetahuan khusus atau keahlian seorang karyawan, namun
tidak terbatas pada puncak dari hierarki organisasi, misalnya para teknisi
computer. Mereka tidak berada di puncak struktur organisasi, tetapi mereka
memiliki banyak kekuatan ahli yang penting bagi fung kepemimpinan dari
organisasi. Tanpa pengetahuan mereka, organisasi akan timpang (lumpuh). Menurut
Steers at al., 1996, expert power
pada level rendah organisasi terkadang menyeimbangkan kekuatan yang sah (legitimate power) pada level tinggi.
5.
Kekuasaan
rujukan (referent power)
Kekuasaan
rujukan (referent power) adalah kekuasaan
yang diperoleh melalui rasa hormat atau kekaguman. Meskipun sangat terkait
dengan reputasi dan status, kekuatan rujukan dapat diperoleh siapa saja dalam
suatu organisasi, terlepas dari posisi hierarkis. Misalnya, karyawan yang ada
tidak berada pada hirarki yang tinggi dalam organisasi dan karenanya memiliki penghargaan
sah dan kekuatan koersif yang rendah akan mungkin memiliki referent power yang tinggi, karena ia adalah pemain tim yang
dihargai yang sepertinya selalu mengatakan dan melakukan hal yang benar dan
sangat memperhatikan kebutuhan dan perspektif orang lain.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif,
pemimpin perlu memiliki kekuasaan dalam menjalankan kepemimpinan mereka dan mungkin
menggunakan berbagai jenis kekuasaan dalam mengelola bawahan mereka dalam situasi
yang berbeda. Jika terdapat situasi dimana seorang pemimpin memiliki banyak
kekuasaan, membuat bawahannya menjadi skeptis (ragu) terhadap tujuan dan
perilakunya, dan bahkan memperlakukan kekuasaan dan bawahannya dengan buruk,
maka kepemimpinanan seseorang sangatlah tidak efektif. Dalam semua kasus
tersebut, hasilnya adalah kepemimpinan yang sangat tidak efektif.
Kita mengenal berbagai sosok pemimpin
baik di dalam maupun di luar organisasi. Dari pemimpin-pemimpin yang sukses
kita dapat pertimbangkan kesamaan dan perbedaan mereka. Mungkin bisa
mengidentifikasi beberapa kesamaan, seperti ketelitian dan memiliki
keterampilan yang baik dan kita juga dapat mengenali banyak perbedaan dalam
gaya, pendekatan, kepercayaan, nilai, visi, dan perilaku di antara para
pemimpin yang efektif tersebut. Singkatnya, tidak ada satu cara "terbaik"
untuk melakukannya memimpin.
C.
Teori-teori
dalam Kepemimpinan
1.
Teori
Sifat (trait theories)
Teori
Trait (trait theories) adalah teori kepemimpinan
yang berfokus pada identifikasi karakteristik individu yang membuat individu
tersebut menjadi pemimpin yang baik. Terkadang teori ini disebut good man/ the good woman theory. Kajian mengenai kepemimpinan dimulai pada
tahun 1930an, dengan perkembangan dari trait
theories. Pertanyaan utama yang
diajukan dalam penelitian semacam itu menyangkut kesamaan apa yang dimiliki
oleh pemimpin yang efektif? Apakah kecerdasan? Apakah kepribadian yang
mendominasi? Apakah agresivitas? Banyak sekali karakteristik individu
dipelajari dalam penelitian di fase awal tersebut, termasuk jenis kelamin,
dominasi, kecerdasan, penampilan, energi fisik, kebutuhan akan kekuasaan, dan
kebutuhan akan prestasi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa hanya sedikit, jika
ada, sifat universal yang meramalkan kepemimpinan (Stogdill, 1948).
Satu
ulasan kontemporer telah menyimpulkan faktor-faktor seperti kecerdasan,
dominasi, dan orientasi maskulin adalah prediktor konsisten bukan dari kepemimpinan
yang efektif tapi dari tipe orang yang cenderung muncul sebagai pemimpin dalam
kelompok kecil (Lord, DeVader, & Alliger, 1986). Dalam kelompok tanpa
pemimpin yang ditugaskan, pria-pria yang dipandang lebih cerdas dan dominan
dibanding yang lain cenderung mengambil peran pemimpin. Penelitian David Kenny
dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa kelenturan perilaku, artinya sejauh mana
individu bersedia dan mampu mempertimbangkan perilaku dan perilaku dan pendekatan
apa yang bekerja paling baik dalam situasi tertentu adalah prediktor yang
sangat berguna yang muncul dari pemimpin dalam kelompok kecil (Kenny &
Zaccaro, 1983; Zaccaro, Foti, & Kenny, 1991).
Satu studi menemukan
bahwa individu yang tinggi dalam hal dominasi, kecerdasan, dan efikasi diri
lebih cenderung muncul sebagai pemimpin daripada mereka yang memiliki pola
kepribadian lainnya (Smith & Foti, 1998). Penelitian terbaru lainnya
berfokus pada lima sifat besar Big Five Traits). Sebuah analisis meta lebih
banyak Dari 70 penelitian ditemukan bahwa lima karakter memiliki kontribusi
sebesar 53% dari varians kemunculan pemimpin dan 39% dalam efektifitas
pemimpin. Secara khusus, extraversion
dan conscientiousness muncul menjadi
yang paling penting dan prediktor konsisten (Hakim, Bono, Ilies, &
Gerhardt, 2002). Studi yaitu, tentang personil militer di Singapura yang mana
ditemukan bahwa extraversion bermain
peran penting dalam kepemimpinan efikasi diri (Leadeship self-efficacy / LSE) yaitu kemampuan yang dipahami dari seseorang
untuk berhasil menyelesaikan tugas kepemimpinan (Ng, Ang, & Chan, 2008). Individu
yang memiliki extraversion tinggi
seperti mudah bergaul (sociable) dan tegas
(assertive) cenderung untuk menilai
dengan tinggi pada skala self-efficacy
kepemimpinan yang sering membuat mereka menjadi pemimpin yang efektif.
Sebuah
studi laboratorium baru-baru ini juga menemukan dukungan untuk tautan ini (Big
Fiveà LSEà keefektifan
atau perilaku pemimpin). Model Lima Besar (Big
Five Model) yang lahir dari pemikiran Allport and Cattel adalah skema
klasifikasi yang populer dan divalidasi dimana kepribadian digambarkan dalam
hal lima dimensi luas yaitu:
a. Keterbukaan
(openess) dan berta megacu pada
kemampuan untuk bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi dan focus.
b. Ketelitian
(conscientiousness) mengacu pada
sikap hati-hati, dapat diandalkan, teratur, memiliki kontrol terhadap
lingkungan sosial, terencana, terorganisir, dan bertanggung jawab.
c. Dominansi
(exstraversion) mengacu pada sikap
yang cenderung penuh semangat, dominan, ramah, komunikatif, antusias, dan mudah
tertantang.
d. Keramah-tamahan
(agreeableness), berkaitan dengan altruism, mengacu pada sikap yang
hangat, mudah percaya, kooperatif, mudah mengalah untuk menghindari konflik,
suka membantu, pemaaaf dan penyayang.
e. Neurotisme
(neurotism), berkenaan dengan
pengaruh dan pengendalian emosi. Individu dengan neurotisme yang tinggi
memiliki sifat mudah gugup, sensitif, tegang, impulsive, dan mudah cemas serta
rentan dalam menghadapi tekanan.
2.
Teori-teori
Perilaku (behaviour theories)
Pada
tahun 1950s, setelah para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada ciri khas yang
dapat secara konsisten memprediksi kepemimpinan yang efektif, maka sebuah arah
baru diambil, penekanannya adalah pada perilaku pemimpin. Teori kepemimpinan
berfokus pada identifikasi apa sebenarnya pemimpin-pemimpin lakukan, dengan
harapan bahwa pendekatan ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik dari
proses kepemimpinan. Penelitian dalam area ini banyak dilakukan di Ohio State
University, University of Michigan, dan University of Lowa. Penelitisn Di Lowa
yang dipimpin oleh Kurt Lewin meneliti tiga jenis gaya kepemimpinan, yaitu:
otoriter, demokratis, dan laissez-faire. Mereka mengungkapkan bahwa sebagian
besar bawahan lebih memilih pemimpin demokratis, tetapi tidak banyak hubungan
antara gaya kepemimpinan dan perilaku bawahan. Demikian juga dengan kesimpulan
dari studi di Ohio State dan Michigan, ketiganya sangat mirip.
Penelitian di Ohio State mengumpulkan
laporan tentang perilaku pemimpin dengan menggunakan survei yang disebut
Kuesioner Opini Pemimpin (Leader Opinion Questionaire/LOQ),
serta pengamatan dan penilaian pemimpin perilaku menggunakan kuesioner disebut
Leader Behavior Deskriptif Kuesioner (Leader Behavior Descriptive LBDQ). Dengan
skala lima poin mulai dari "Never" sampai "Selalu." Setelah
ratusan perilaku pemimpin yang berbeda teridentifikasi dan banyak dimensi
diperiksa, mereka dikategorikan dalam dua dimensi utama (Fleishman &
Harris, 1962). Perhatikan tabel berikut:
Dimensi pertama, Initiating structure, mengacu pada perilaku pemimpin yangmana
menentukan peran yang dimainkan oleh mereka dan bawahan mereka dalam pencapaian
tujuan formal kelompok. Contoh perilaku Initiating
structure termasuk menetapkan tugas spesifik kepada bawahan, perencanaan ke
depan untuk pekerjaan selanjutnya yang harus dikerjakan, mendorong produksi
yang lebih tinggi dengan menetapkan tujuan yang sulit, penetapan prosedur, dan
sebagainya.
Dimensi kedua, pertimbangan (consideration), menyangkut sejauh mana
pemimpin bertindak dengan cara yang mendukung dan menunjukkan kepedulian dan
rasa hormat kepada bawahan. Contoh consideration
meliputi penekanan pengambilan keputusan secara partisipatif, penempaan
komunikasi dua-arah, dan bekerja untuk membangun hubungan baik dengan bawahan.
Menariknya, studi University of Michigan mengidentifikasi dua dimensi yang
sangat mirip, yaitu: perilaku berorientasi tugas (task-oriented behavior) dan perilaku berorientasi hubungan (relationship-oriented behaviour).
Dimensi
pertimbangan dan dimensi initiating-structure
dari LBDQ ditampilkan di Tabel 13.2, bersama dengan 10 pernyataan perilaku yang
terkait masing-masing. Pertimbangannya jelas tercermin dalam pernyataan seperti
"ramah dan mudah didekati" dan "melakukan hal-hal kecil untuk
membuatnya menyenangkan untuk menjadi anggota kelompok."Indikatif dari initiating-structure adalah pernyataan
seperti "mari anggota kelompok tahu apa yang mereka harapkan" dan
"membuat sikapnya jelas bagi kelompok". Sebenarnya pemimpin bisa
tinggi atau rendah pada kedua dimensi, consideration
dan initiating-structure. Faktanya,
ada kecenderungan korelasi positif kecil antara keduanya dimensi tersebut.
Kedua dimensi
tersebut merupakan Kontribusi terpenting dari pendekatan perilaku terhadap
kepemimpinan. Sayangnya, temuan-temuan spesifik tidak konsisten. Misalnya,
beberapa penelitian telah menemukan korelasi negatif antara perilaku
pertimbangan (consideration-behavior dan efektifitas pemimpin (leader
effectiveness), sedangkan yang lain yang dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an
telah menemukan korelasi positif (Bass, 1985)
Dalam sebuah
survei terhadap pekerja di sebuah agen tenaga kerja, misalnya, sikap yang
paling menyenangkan diekspresikan oleh mereka yang bekerja untuk pimpinan yang
tinggi dikedua orientasi interpersonal dan orientasi tugas. Hubungan ini
bervariasi sebagai fungsi gender pemimpin. Menurut (Hutchison, Valentino, &
Kirkner, 1998), karyawan yang bekerja untuk pemimpin perempuan yang tinggi
dalam orientasi interpersonal dan orientasi tugas tidak melaporkan komitmen
organisasi yang lebih dibandingkan karyawan yang bekerja untuk pemimpin
perempuan yang rendah dalam kedua dimensi kepemimpinan. Artinya, orientasi
interpersonal dan orientasi tugas tidak terlalu dipermasalahkan diantara
pemimpin perempuan dibandingkan diantara pemimpin pria.
Dari serangkaian
penelitian yang telah dilakukan, tidak ada satu set perilakupun yang muncul
secara konsisten terprediksi dalam kepemimpinan yang efektif.
Ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena penggunaan beberapa ukuran perilaku
pemimpin yang berbeda (Schriesheim, House, & Kerr, 1976), penggunaan
kuesioner yang mengandalkan pengingatan kembali perilaku peserta, dan fokus
utama pada manajer tingkat rendah (House & Aditya, 1997). Mungkin juga
karena dampak dari variabel situasional terhadap proses kepemimpinan.
3.
Teori
kontingensi (contigenciy theories)
Teori
kontigensi dari Fiedler dipublikasikan pada 1967. Teori ini muncul karena
peneliti tidak mampu menemukan serangkaian sifat dan perilaku untuk memrediksi
kepemimpinan yang efektif, sehingga mulai mempertimbangkan peran situasinya. Teori
kontingensi (contigenciy theories)
adalah teori kepemimpinan yang membedakan dari kedua teori sifat dan teori
perilaku dengan secara formal menghitung variabel situasional dan kontekstual.
Fred
Fiedler berpendapat, pemimpin yang berorientasi pada tugas paling cocok untuk
beberapa situasi dan pemimpin yang berorientasi pada hubungan adalah paling
cocok untuk orang lain. Inilah teori pertama yang mempertimbangkan
karakteristik pemimpin (sifat dan perilaku) dapat berinteraksi dengan variabel
situasional untuk mempertimbangkan efektifitas pemimpin.
Situasi
yang menguntungkan didefinisikan dalam tiga dimensi. Pada masing-masing dari
tiga dimensi ini dapat digambarkan sebagai tinggi atau rendah, menghasilkan
delapan tingkat situasi yang menguntungkan. Derajat keuntungan situasional ini
sesuai dengan gaya atau orientasi pemimpin yang dapat diukur dengan skala rekan
kerja yang paling tidak disukai (least preferred co-worker/LPC). Situasional
variable dijelaskan sebagai situational-favorability
yang merupakan sebuah fungsi persepsi kontrol pemimpin dari situational control.
Dimensi pertama dan paling penting dari masalah
ini adalah pemimpin sebagai member
relation, atau sejauh mana pemimpin memiliki hubungan positif dengan
bawahan. Dimensi ke-dua menyangkut jumlah struktur tugas dipekerjaan bawahan,
variabel ini mencakup kejelasan tujuan dan prosedur. Dimensi ke-tiga,
menyangkut posisi kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin (mungkin terkait dengan
legitimate power dan reward power. Situasi yang menguntungkan
jika pemimpin memiliki hubungan positif dengan bawahan, jika tugas bawahannya
ditentukan dengan baik, dan jika pemimpin memiliki kekuatan untuk membuat
keputusan penting.
Menurut
Fiedler, daripada mengukur sikap pemimpin secara langsung, Skala LPC
mengharuskan kita menyimpulkan investasi pemimpin dalam pencapaian tugas
melalui reaksinya kepada rekan kerja yang menghalangi pencapaiannya. Misalnya,
jika seorang pemimpin memberi LPC rating yang sangat negatif, kami akan
menyimpulkan bahwa penilaian mencerminkan frustrasi atau kemarahan pemimpin
(Ayman, Chemers, & Fiedler, 1995). Kita juga akan menyimpulkan bahwa
pemimpin berorientasi tugas, artinya pemimpin lebih suka bekerja menuju tujuan
dengan menyusun dan mengendalikan tugas. Jika pemimpin memberi nilai LPC dalam
kondisi yang menguntungkan, pemimpinnya akan menjadi dianggap berorientasi pada
orang (person-oriented), artinya
pemimpin lebih suka mencapai tujuan kelompok bekerja sama dengan orang-orang
secara interpersonal.
4.
Path-goal
Theory
Pemimpin
yang efektif adalah pemimpin yang mengadopsi pendekatan apa pun yang paling
mungkin untuk dicapai tujuan memotivasi bawahan. Dengan pemikiran ini, kita
beralih ke path-goal theory tentang efektifitas
pemimpin (House, 1971). Path-goal theory
muncul dari konsep motivasi yang terkait dengan teori harapan dari Victor Vroom
(1964). Teori harapan berpendapat bahwa individu termotivasi untuk menunjukkan
perilaku tertentu jika mereka mengharapkan hasil positif atas apa yang
dilakukan dan jika mereka menghargai hasil tersebut, seperti House (1996):
“Gagasan penting yang mendasari path-goal
theory adalah bahwa individu-individu dalam posisi otoritas, pengawas, akan
menjadi efektif sejauh mereka melengkapi lingkungan yangmana bawahan mereka
bekerja dengan menyediakan klarifikasi kognitif yang diperlukan untuk
memastikan bawahan berharap mereka bisa mencapai tujuan pekerjaan dan itu
mereka akan mengalami kepuasan hakiki
dan menerima penghargaan sebagai sebuah hasil dari pencapaian tujuan pekerjaan.”Path-goal theory menentukan sejumlah
moderator situasional yang memengaruhi hubungan antara perilaku kepemimpinan
dan efektifitasnya, serta mengidentifikasi empat jenis perilaku pemimpin:
perilaku pemimpin direktif, perilaku pemimpin yang berorientasi pada prestasi,
perilaku pemimpin yang mendukung, dan perilaku pemimpin partisipatif (House,
1996).
Dari
figure di atas perilaku pemimpin
diprediksi memiliki efek langsung pada harapan bawahan dan nilai (yang
dimoderatori oleh bawahan dan karakteristik lingkungan) dan persepsi bawahan
tentang harapan dan nilai mempengaruhi kepuasan, usaha, dan kinerja mereka
(seperti yang diperkirakan oleh teori harapan). Namun, terdapat ulasan dan
evaluasi kritis dari teori dan penelitian yang menyertainya, menunjukkan bahwa
teori tersebut belum diuji dengan baik, karena masalah metodologis seperti
pengukuran yang buruk dari konstruksi, kurangnya perhatian pada variabel
menengah (yaitu, harapan bawahan dan persepsi nilai), dan kurangnya kontrol
terhadap variabel relevan lainnya (House, 1996; Schriesheim & Neider,
1996). Kritik ini dan tidak adanya valid tes pada path-goal theory menyebabkan reformulasi teori dan meminta lebih
banyak pengujian yang lebih hati-hati (House, 1996).
5.
Teori-teori
Kontemporer
Dalam
teori-teori kontemporer akan dibahas mengenai beberapa teori secara khusus,
yaitu:
a.
Teori
Pertukaran Pemimpin-anggota (leader–member
exchange theory)
Teori
pertukaran pemimpin anggota (leader-member exchange/LMX) adalah teori tentang
kerja diadik yang berfokus pada hubungan antar bawahan dan pemimpin daripada
perilaku atau sifat pemimpin. Sebuah prekursor LMX, dikembangkan pada 1970-an,
disebut teori hubungan vertikal dyad (vertical dyads linkage theory/VDL)
(Dansereau, Graen, & Haga, 1975). Premis utama teori VDL yang telah dibawa
ke LMX adalah gagasan bahwa pemimpin memiliki hubungan yang berbeda dengan
bawahan yang berbeda. Sedangkan teori sifat dan perilaku didasarkan pada
anggapan bahwa pemimpin menggunakan gaya atau orientasi yang sama (disebut gaya
rata-rata kepemimpinan/average leadership
style) dengan semua bawahan mereka. VDL menunjukkan bahwa gaya mereka
berbeda pada berbagai bawahan. Dengan demikian bawahan ditempatkan atau
diklasifikasikan menjadi kelompok in-group
dan out-group. Bawahan di dalam
kelompok cenderung memiliki hubungan baik dengan pemimpin mereka berdasarkan
mutual kepercayaan, tanggung jawab bersama, dan dukungan, mereka yang berada di
luar kelompok tidak mengalami hubungan yang sangat kuat dengan pengawas mereka
dan cenderung diperlakukan dengan cara yang lebih berorientasi pada tugas
(Yukl, 2002).
Menurut
teori LMX, kualitas hubungan leader-follower
bersifat prediktif dari hasil individu, kelompok, dan tingkat organisasi
(Gerstner & Day, 1997). Menurut sebuah meta-analisis terhadap sekitar 80
studi LMX, kualitas hubungan LMX Itu sangat terkait untuk hasil seperti
peringkat kinerja bawahan, kepuasan pekerjaan, komitmen organisasional,
kejelasan peran, konflik peran, dan intensi turnover. Memiliki hubungan
berkualitas tinggi dengan atasan seseorang bisa mempengaruhi seluruh pengalaman
kerja dengan cara yang sangat positif (Gerstner & Day, 1997).
Dalam
penelitian ditemukan hubungan LMX yang positif terkait dengan peringkat kinerja
yang menguntungkan. Namun, para peneliti juga menemukan bahwa hubungan ini
diperkuat dengan frekuensi komunikasi antara pemimpin dan pengikut (Kacmar,
Witt, Zivnuska, & Gully, 2003). Artinya, LMX terkait lebih kuat dengan
penilaian kinerja jika anggota sering berkomunikasi. Sebuah studi baru-baru ini
juga menunjukkan bahwa LMX berperan dalam bagaimana karyawan menanggapi taktik
perubahan organisasi yang berbeda. Karyawan dalam hubungan LMX yang menguntungkan
sedikit memiliki kecenderungan untuk menolak taktik perubahan organisasi-bahkan
yang termasuk sanksi atau paksaan, yang sering meningkatkan ketahanan pada
mereka yang rendah di LMX (Furst & Cable, 2008).
Meskipun
teori LMX mengasumsikan bahwa para pemimpin memperlakukan anggotanya dengan
berbeda. Para peneliti berpendapat bahwa variabilitas di LMX dalam sebuah karya
kelompok mungkin memiliki efek negatif pada hasil karena anggota tim memandang
hal itu prinsip kesetaraan telah dilanggar jika anggota tim menerima tingkat
yang berbeda rasa hormat, kepercayaan, dan sumber daya nyata (Hooper &
Martin, 2008). Terkait dengan lebih banyak konflik tim dan rendahnya tingkat
kepuasan kerja dan kesejahteraan karyawan, mungkin para pemimpin perlu
berhati-hati dalam mengembangkan hubungan berbeda kualitas dengan anggota tim.
b.
Teori
Kepemimpinan Implisit (implicit
leadership theory)
Implicit
leadership Theory (ILT) menekankan persepsi bawahan pada perilaku pemimpin,
menjaga agar para pemimpin memengaruhi kinerja bawahan melalui perilaku, sifat,
kualitas karismatik, dan kemampuan untuk menyusun situasi dan peran yang jelas
(Lord, 2000). ILT memandang kepemimpinan sebagai hasil dari proses persepsi
yang melibatkan kedua pemimpin dan bawahan. Lord dan Maher (1991)
mendefinisikan kepemimpinan dalam hal apakah seseorang dianggap oleh orang lain
sebagai pemimpin. Lord mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses
yangmana seorang pemimpin mengubah cara bawahannya membayangkan diri (Lord
& Brown, 2004).
Gagasan
utamanya adalah bahwa kita semua memiliki keyakinan implisit tentang kualitas
pribadi dan perilaku pemimpin yang berkembang dari waktu ke waktu dan dipengaruhi
oleh pengalaman dan sosialisasi. Kadangkala kita menggunakan kata prototype untuk merujuk pada seseorang
representasi mental seorang pemimpin (prototype
seorang pemimpin misalnya: seseorang yang cerdas, memiliki kemampuan komunikasi
yang baik, berkomitmen terhadap pekerjaan yang perlu dilakukan dan kepada
orang-orang yang melakukan pekerjaan, dan tahu cara memotivasi para karyawan).
Lord dan rekan-rekannya (1984) menunjukkan percobaan penelitian bahwa ketika
orang mengamati seseorang berperilaku konsisten dengan prototype mereka untuk pemimpin yang efektif, mereka menyimpulkan
bahwa orang ini adalah pemimpin yang efektif. Implikasinya, efektifitas
kepemimpinan mungkin lebih mengarah pada persepsi bawahan pada tindakan para
pemimpin. Penelitian lain (Phillips & Lord, 1981) telah menunjukkan bahwa
orang mengembang secara kesan global dari efektifitas pemimpin berdasarkan
sejauh mana pemimpin tertentu sesuai dengan prototype
mereka.
Dalam
figure di atas menceritakan pengalam
seseorang yang memiliki boss bernama Jared. Pengalamannya mengenai perilaku
Jared dievaluasi dari prototypee
pemimpin efektif (Kotak A). Ia telah memutuskan bahwa Jared adalah pemimpin
yang efektif (Kotak C), karena dia cocok dengan bagian yang menonjol (Box B).
Dari prototypee itu (misalnya, intelligent, excellent communication skill,
commited). Ia diminta untuk menilai Jared apakah dia mandiri atau dimensi
lain dari tingkah lakunya yang belum saya amati. Ia memutuskan Jared adalah seorang
pemimpin yang efektif karena mandiri adalah bagian dari prototype pemimpin efektifnya, Jared sendiri juga harus menjadi
self-starter (Kotak D).
c.
Teori
Kepemimpinan Transformasional (transformational
leadership theory).
Perubahan
paradigma utama terjadi di pekerjaan kepemimpinan pada pertengahan 1970-an,
menghasilkan kelas teori yang disebut sebagai teori kepemimpinan baru (House
& Aditya, 1997). Teori ini memiliki empat hal berikut karakteristik yang
sama: (1) Mereka menjelaskan bagaimana pemimpin dapat membawa organisasi ke
level baru; (2) Mereka menjelaskan bagaimana pemimpin tertentu dapat mencapai
tingkat motivasi, komitmen, dedikasi, yang luar biasa; (3) Mereka stres secara
emosional menarik perilaku seperti memberdayakan, mengembangkan visi, dan
pemodelan peran untuk bawahan mereka;
dan (4) Mereka mendorong peningkatan harga diri dan kepuasan bawahan, juga
sebagai identifikasi dengan nilai dan visi pemimpin (House & Aditya, 1997).
Menurut
(Bass, 1985) kepemimpinan transformasional adalah sebuah bentuk kepemimpinan
dimana interaksi pemimpin dan bawahan meningkat ke tingkat yang lebih tinggi
dari motivasi dan moralitas daripada yang dapat mereka capai secara individu.
Pemimpin transformasional berusaha memotivasi bawahan untuk melampaui
ketertarikan diri dan mencapai yang lebih daripada mereka pikir itu mungkin.
Kepemimpinan
transformasional dibedakan dari kepemimpinan transaksional (transaksional leadership) yang mana
hubungan antara pemimpin dan bawahan didasarkan pada pertukaran dan tidak lebih
(Bass, 1985; Bass & Steidlmeier, 1999). Pengertian kepemimpinan
transaksional secara umum yaitu suatu bentuk kepemimpinan yangmana hubungan
antara pemimpin dan bawahan terutama didasarkan pada pertukaran, dengan
menekankan kesatuan penguatan. Misalnya, pemimpin yang lebih transaksional
daripada transformasional cenderung memberi tahu bawahan mereka apa yang
diharapkan dari mereka dan apa yang akan mereka dapatkan jika mereka memenuhi
harapan tersebut, daripada menekankan bagaimana bawahan dapat tumbuh dan
berkembang dalam organisasi.
Kepemimpinan
transformasional dapat digambarkan dalam empat komponen utama (Bass &
Steidlmeier, 1999). Komponen utama tersebut yaitu: (1) Pengaruh ideal (idealized influence), mengacu pada
karisma yang diangkat ke sebuah hubungan oleh seorang pemimpin yang
membangkitkan hasrat kuat pada dirinya dengan mengidentifikasi atau meniru
pemimpin. (2) Motivasi inspirasional (inspirational
motivation) memberi bawahan tantangan dan alasan untuk terlibat dalam
tujuan bersama. (3) Stimulasi intelektual (intellectual stimulation) mengacu
pada proses dimana pemimpin transformasional meningkatkan kesadaran bawahan
melalui masalah dari perspektif baru (4) Pertimbangan individual
(individualized consideration) mengacu pada apa yang para pemimpin bagikan pada
bawahan saat mereka memperlakukan masing-masing sebagai individu, memberikan
dukungan, dorongan, dan menumbuhkan pengalaman untuk semua.
Penelitian
telah menghubungkan kepemimpinan transformasional dengan hasil organisasi
seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja kelompok kerja
(House & Aditya, 1997). Sebuah meta-analisis telah menunjukkan bahwa empat
perilaku transformasional utama, yaitu pengaruh ideal, motivasi inspirasional,
intelektual stimulasi, dan pertimbangan individual, secara signifikan
berkorelasi dengan efektifitas kepemimpinan (Lowe, Kroeck, &
Sivasubramaniam, 1996). Elemen kepemimpinan transaksional juga penting, seperti
memperkuat bawahan berdasarkan kinerja mereka. Dengan demikian, pemimpin
transformasional lebih berhasil jika mereka meunjukkan beberapa perilaku
transaksional juga, tapi kepemimpinan transaksional saja biasanya tidak begitu
sukses (Bass, 1985). Satu studi baru-baru ini (Schaubroeck, Lam, & Cha,
2007) menemukan transformasi kepemimpinan-tim yang positif bahwa hubungan
kinerja diperkuat ketika tim tersebut tinggi dalam kolektivisme (yaitu, tinggi
pada tujuan bersama dan kekompakan) dan kekuatan jarak (yaitu, sangat
menghormati otoritas dan melihat perbedaan status sebagai hal yang sah).
D.
Arah
Baru dalam Penelitian Kepemimpinan
Kita
akan membahas tentang dampak isu gender dalam kepemimpinan yangmana memberi
implikasi signifikan untuk efektifitas organisasi. Kemudian akan kita
pertimbangkan pengaruh budaya terhadap kepemimpinan dan peran emosi dalam
kepemimpinan.
1.
Gender
dan Kepemimpinan
Wanita
dan minoritas saat ini dipekerjakan dengan tingkat yang jauh lebih besar
daripada lihat sebelumnya di Amerika. Enam dari 10 wanita usia 16 ke atas
adalah peserta angkatan kerja di tahun 2007. Mereka juga membentuk 46% angkatan
kerja dan jumlah itu diproyeksikan meningkat (Departemen Tenaga Kerja A.S.,
2008). Sekitar 50% dari semua manajemen dengan gaji tinggi, profesional, dan
pekerjaan terkait dipegang oleh wanita di tahun 2007. Enam belas juta pekerjaan
telah diciptakan di Negara Amerika selama dekade terakhir dan wanita telah
mengamankan sekitar setengah dari pekerjaan itu (Departemen Tenaga Kerja A.S.,
2008).
Glass ceiling
mengacu pada situasi dimana individu-individu terkualifikasi dicegah untuk
benar-benar mencapai semua yang mereka bisa karena beberapa bentuk
diskriminasi. Komisi glass-ceiling
dibentuk pada tahun 1991 untuk mempelajari hambatan yang menghalangi perempuan
naik ke puncak jabatan perusahaan. Selain itu, pada tahun 2008 Hilary Clinton
berpartisipasi dalam kampanye presiden, dimana ia mencatat bahwa kampanyenya
"membuat keretakan di glass-ceiling”.
Namun, terlepas dari contoh seperti ini kemajuan besar telah dicapai wanita
dalam angkatan kerja dan posisi manajemen. Meskipun demikian masih ada jalan
yang panjang untuk menghilangkan efek dari glass-ceiling
secara menyeluruh.
Alice
Eagly telah membawa isu gender ke permukaan dari studi kepemimpinannya. Dalam
serangkaian meta-analisis, dia dan rekan-rekannya mengidentifikasi variabel
penting yang terlibat dalam hubungan gender dengan kepemimpinan dan merangkum
gambar besar. Misalnya, mereka telah melihat peran gender dalam gaya
kepemimpinan dan menemukan perbedaan yang konsisten (walaupun kecil) antara
pria dan wanita, termasuk fakta bahwa wanita lebih partisipatif dan
berorientasi interpersonal daripada laki-laki (Eagly & Johnson, 1990). Dari
meta-analisis tersebut disimpulkan bahwa perempuan cenderung kehilangan
otoritas atau kekuasaan yang sah jika mereka mempekerjakan wanita (partisipatif
dan interpersonal berorientasi) gaya dari kepemimpinan dalam peran yang
didominasi laki-laki (Eagly & Johnson, 1990).
Secara
tradisional peran pemimpin dimainkan oleh laki-laki, sehingga muncul fakta
bahwa perempuan dijauhkan dari kesuksesan dalam posisi kepemimpinan dan muncul stereotype tentang kepemimpinan daripada
kemampuan wanita yang sesungguhnya dalam memimpin. Namun dalam sebuah
meta-analisis yang ekstensif ada literatur yang mendukung prediksi bahwa
laki-laki muncul lebih sering sebagai pemimpin dalam situasi pekerjaan yang
berorientasi pada tugas, sedangkan perempuan muncul lebih sering sebagai
pemimpin dalam situasi yang berorientasi sosial (Eagly & Karau, 1991). Sebuah
studi baru-baru ini menemukan bahwa wanita memiliki dominasi tinggi (ciri
pemimpin yang secara empiris diidentifikasi) lebih cenderung muncul sebagai
seorang pemimpin dalam setting laboratorium dengan pasangan laki-laki jika
diberi seorang pemimpin wanita panutan. Namun, bahkan wanita tinggi dalam
dominasi sebagai ciri kepribadian cenderung tidak muncul sebagai pemimpin saat
mengalami model pemimpin pria (Carbonell & Castro, 2008).
Sebuah
meta-analisis meninjau peran gender dalam efektifitas kepemimpinan (Eagly,
Karau, & Makhijani, 1995) mengajukan dua pertanyaan yang sangat penting:
(1) Apakah pemimpin gender tertentu lebih efektif daripada pemimpin gender
lainnya? (2) Apakah situasi atau konteks mempengaruhi kemungkinan bahwa
pemimpin gender tertentu atau yang lainnya akan lebih efektif? Berdasarkan
teori peran gender, para periset ini meramalkan bahwa pria akan lebih
efektif-atau setidaknya dianggap lebih efektif-daripada wanita dalam peran kepemimpinan.
Hasil meta-analysis tersebut yaitu: (1) Perempuan dan laki-laki tidak berbeda
secara keseluruhan seperti yang dipahami sebagai pemimpin yang efektif. (2)
Kepribadian gender memang melunakkan hububungan efektifitas gender / hubungan
pemimpin: Pemimpin laki-laki dianggap lebih efektif dalam konteks yang sesuai
untuk pria dan pemimpin wanita dianggap sebagai lebih efektif dalam konteks
yang sesuai dengan wanita (Eagly et al., 1995).
Meta-analisis
perilaku kepemimpinan diberbagai gender menemukan bahwa para pemimpin perempuan
cenderung menunjukkan tingkat perilaku kepemimpinan transformasional yang lebih
tinggi dan perilaku penghargaan kontingen transaksional daripada pemimpin pria
yang cenderung menunjukkan perilaku transaksional yang lebih kurang efektif
(contoh: pengelolaan dengan pengecualian) daripada pemimpin wanita (Eagly,
Johannesen-Schmidt, & van Engen, 2003). Meskipun perbedaan ini umumnya
kecil, namun secara statistik sangat penting; ada juga perbedaan statistik
kecil antara jenis kelamin pada hasil kepemimpinan seperti efektifitas dengan
wanita tampil lebih baik dari pada pria. Analisis Vecchio dan penilaian Eagly
dan rekan-rekannya mengarah pada kesimpulan yang berbeda, menunjukkan kebutuhan
akan penelitian tambahan dan pengembangan konseptual yang lebih baik (Eagly,
2007).
2.
Budaya
dan Kepemimpinan
Meskipun
isu budaya diabaikan oleh para periset kepemimpinan selama bertahun-tahun,
sejak saat itu isu budaya menjadi fokus penelitian (Dickson, Hanges, &
Lord, 2000) karena ekonomi global dan peningkatan diversifikasi organisasi. Robert
House dan rekan-rekannya telah mengajukan teori kepemimpinan lintas budaya yang
mempertahankan perilaku yang diharapkan, diterima, dan perilaku efektif
perilaku berbeda-beda oleh budaya (House & Aditya, 1997). Budaya tertentu
menilai pada pemimpinnya didasarkan pada teori kepemimpinan implisit yang
didukung oleh budaya tersebut. Menurut (Ensari & Murphy, 2003) sebuah studi
menunjukkan bahwa prototypee
kepemimpinan berkembang melalui proses yang berbeda dalam budaya
individualistis versus kolektivis.
Global
Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (GLOBE) melakukan proyek
penelitian yang melibatkan 61 negara dan lebih dari 200 peneliti dipimpin oleh
House. Para peneliti ini berdebat bahwa meskipun beberapa perilaku atau sifat
pemimpin secara universal dapat diterima dan efektif, masih banyak lagi
penerimaan dan efektifitas lebih pada budaya yang spesifik (House & Aditya,
1997). Menurut (House et, al., 1999) sebanyak 22 atribut kepemimpinan konsisten
dengan kepemimpinan transformasional didukung secara universal oleh manajer
tingkat menengah di 60 negara.
Ada
kemungkinan bahwa sifat dan perilaku lainnya berbeda-beda antar budaya. Satu
studi menunjukkan perbedaan yang dimungkinkan (Gerstner & Day, 1994). Para
peneliti tersebut mengelola sebuah survei yang mengukur 59 ciri kepemimpinan
pada sebuah sampel mahasiswa internasional dan pascasarjana Amerika (sampel
internasional terdiri dari siswa dari China, Prancis, Jerman, Honduras, India,
Jepang, dan Taiwan), mereka menemukan bahwa sifat-sifat yang dilihat sebagai
karakteristik pemimpin bisnis sangat bervariasi antar budaya. Hasil ini
menunjukkan bahwa prototype
kepemimpinan juga berbeda antar budaya. Misalnya, lima ciri paling prototypeikal yang diidentifikasi oleh
peserta Jepang adalah disiplin, cerdas, dapat dipercaya, berpendidikan, dan
bertanggung jawab; yang diidentifikasi oleh peserta A.S. bersifat gigih, rajin,
memiliki keterampilan verbal yang baik, berorientasi pada tujuan, dan tabah.
Singkatnya, ada yang jelas perbedaan antara kedua budaya ini dalam hal apa yang
mereka anggap prototypeikal
kepemimpinan.
Temuan
lainnya yaitu: (1) Tidak ada satu sifat pun yang muncul dalam kategori lima
besar pada semua delapan negara, menunjukkan variabilitas prototype kepemimpinan yang cukup besar; Namun, berorientasi pada
tujuan adalah sifat yang terlihat sebagai prototypee
dalam jumlah terbesar dari kebanyakan negara.(2) mengkategorikan budaya sebagai
Barat atau Timur menimbulkan beberapa konsistensi dalam kedua subkelompok ini.
Dalam budaya dikategorikan Barat (yaitu, Prancis, Jerman, Honduras, India, dan
Amerika Serikat) tabah (determined) memiliki prototypeikal sangat tinggi, sedangkan pada kategori Eastern (yaitu
Taiwan, China, dan Jepang), kecerdasan (intelligence)
sangat prototypeikal. Dengan
demikian, terdapat perbedaan kepemimpinan yang dapat diandalkan dalam persepsi
kepemimpinan lintas budaya. Implikasinya adalah bahwa kita perlu memahami
perbedaan lebih jauh jika kita ingin memahami sifat sejati proses kepemimpinan.
Kesadaran tinggi akan perbedaan dapat membantu karyawan memahami rekan kerja
mereka lebih baik dan mungkin membantu organisasi memahami karyawan mereka
lebih baik, sebagai tempat kerja terus berlanjut untuk menjadi lebih berbeda
dan bersifat global.
3.
Emosi
dan Kepemimpinan
Penelitian telah mulai menggambar kaitan
antara ekspresi emosi pemimpin transformasional dan berbagai hasil. Penelitian
baru-baru ini menunjukkan dengan jelas bahwa pemimpin transformasional
mengekspresikan lebih banyak emosi positif daripada pemimpin yang sedikit
transformasional dan bahwa emos-emosi positif ini memiliki efek langsung pada
suasana hati bawahan. Menurut (Bono & Ilies, 2006) emosi para pemimpin dan
suasana hati para bawahan memiliki efek positif pada efektifitas pemimpin dan
daya tarik yang dirasakan dari pemimpin.
Emosi dan kepemimpinan melibatkan
Kecerdasan Emosi (EI) yaitu, kemampuan, kapasitas atau keahlian untuk menilai
dan mengelola emosi seseorang serta memahami emosi orang lain. Kecerdasan
emosional dan kemampuan kognitif yang sering diidentifikasikan sebagai variabel
kunci dalam menentukan efektifitas pemimpin. Penelitian baru-baru ini
menunjukkan bahwa sebuah unsur EI, yaitu empati (kemampuan untuk memahami dan
mengidentifikasi dengan perasaan orang lain), memainkan peran sentral dalam
mempengaruhi persepsi kepemimpinan, baik sebagai perilaku kepemimpinan relasional
maupun perilaku kepemimpinan berbasis tugas (Kellett, Humphrey, & Sleeth,
2006). Hasil ini menunjukkan bahwa pemimpin yang cerdas secara emosional
menciptakan ikatan dengan bawahan mereka karena para bawahan merasa dihargai
dan mengerti.
BAB
III
PENUTUP
E.
Kesimpulan
Kepemimpinan
adalah proses sosial yangmana seseorang secara sengaja memberi pengaruh pada
orang lain untuk menstruktur perilaku dan hubungan mereka. Pada dasarnya ada
lima jenis kekuasaan yang dimiliki pemimpin, yaitu kekuasaan yang sah (legitimate power), kekuasaan penghargaan
(reward power), expert power, dan
kekuasaan rujukan (referent power).
Terdapat berbagai macam teori dalam penekanan teoritis serta berbagai hasil penelitian
empiris yang dilakukan di lapangan.
Teori-teori
tersebut antara lain: Teori sifat (trait
theories) yangmana menjelaskan tentang Big Five Model pemimpin menurut
Allport dan Cattel (keterbukaan, ketelitian, dominansi, keramahtamahan,
neurotisme). Berikutnya adalah teori perilaku (behaviour theories) yangmana membentuk dua dimensi yaitu dimensi
initiating structure dan dimensi pertimbangan (consideration). Selanjutnya, teori kemungkinan (contingency theory) yangmana menurut
Fred Fedler teori ini mempertimbangkan karakteristik pemimpin (sifat dan
perilaku) dengan mempertimbangkan variable situasional dankontekstual. Teori
kemungkinan ini memiliki tiga dimensi, yaitu: Dimensi pemimpin sebagai member-relation, dimensi strutur tugas
dalam pekerjaan bawahan, serta dimensi posisi kekuasaan. Selanjutnya adalah path-goal theory, yangmana terkait
dengan konsep motivasi yang berhubungan dengan teori harapan dari Victor Vroom.
Dalam teori path-goal, House
mendefinisikan 4 jenis perilaku, yaitu: Directive
leader behaviors, achievement-oriented leader behaviors, supportive leader
behaviors, dan participative leader
behaviors. Teori tang terakhir adalah teori-teori kontemporer. Teori ini
terdiri dari tiga, yaitu: Teori pertukaran pemimpin & anggota (leader-member exchange teory), teori
kepemimpinan implisit (implicit
leadership theory), teori transformasional (transformational leadership theory). Teori pertukaran pemimpin
& anggota adalah teori tentang kerja diadik yang berfokus pada hubungan
antar bawahan dan pemimpin daripada perilaku atau sifat pemimpin. Teori
kepemimpinan implisit menekankan persepsi bawahan terhadap perilaku pemimpin.
Teori kepemimpinan transformasional adalah sebuah bentuk kepemimpinan dimana
interaksi pemimpin dan bawahan meningkat ke tingkat yang lebih tinggi dari
motivasi dan moralitas daripada yang dapat mereka capai secara individu.
Dalam
isu gender dan kepemimpinan muncul isu glass-ceilling
yangmana mengacu pada situasi dimana individu-individu terkualifikasi dicegah
untuk benar-benar mencapai semua yang mereka bisa karena beberapa bentuk
diskriminasi. Berbagai anggapan negatif muncul tentang pemimpin wanita. Namun,
faktanya di Amerika Serikat isu tersebut dapat teratasi, bahkan hasil
meta-analysis menyebutkan wanita dan pria tidak berbeda secara keseluruhan
seperti yang dipahami sebagai pemimpin yang efektif. (2) Kepribadian gender
memang melunakkan hububungan efektifitas gender / hubungan pemimpin, pemimpin
pria dianggap lebih efektif dalam konteks yang sesuai untuk pria dan pemimpin
wanita dianggap sebagai lebih efektif dalam konteks yang sesuai dengan wanita.
Mengenai
budaya dan kepemimpinan, sebuah hasil penelitian menggambarkan bahwa terdapat
perbedaan prototype kepemimpinan
dalam persepsi kepemimpinan lintas budaya. Sehingga, kesadaran tinggi akan
perbedaan tersebut dapat membantu karyawan memahami rekan kerja mereka lebih
baik dan mungkin membantu organisasi memahami karyawan mereka lebih baik,
sebagai tempat kerja terus berlanjut untuk menjadi lebih berbeda dan bersifat
global.
Dalam
hubungan kepemimpinan dan emosi unsur Emotional
Intelligence (EI), yaitu empati (kemampuan untuk memahami dan
mengidentifikasi dengan perasaan orang lain), memainkan peran sentral dalam
mempengaruhi persepsi kepemimpinan, baik sebagai perilaku kepemimpinan
relasional maupun perilaku kepemimpinan berbasis tugas. Artinya, pemimpin yang
cerdas secara emosional menciptakan ikatan dengan bawahan mereka karena para
bawahan merasa dihargai dan mengerti.
DAFTAR PUSTAKA
Hodkinson, G. P.
& Ford. J. K. (2010). International
review of industrial and organizational psychology. Vol 25. West Sussex:
Willey-Blackwell
Levy, P.E
(2010). Industial organizational psychological
understanding the workplace, New York, NY 10010: Worth Publisher 41 Madison
Avenue
No comments:
Post a Comment
Luangkanlah waktu untuk berkomentar di blog ini. Berkomentarlah secara bijak( jangan SPAM). Komentar anda adalah suatu kebanggaan buat saya.